Minggu, 31 Agustus 2014

Kapal Perikanan milik orang Indonesia atau badan hukum Indonesia yang dioperasikan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap di WPP-RI dan/atau laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia.
Hal ini sesuai dengan :
  1. Amanat Pasal 36 dan Pasal 37 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009.
  2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan.
  3. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor : 36/DJ-PT/2010 tentang Spesifikasi, Kodefikasi, dan Tata Cara Penulisan Tanda Pengenal Kapal Perikanan.
Hal - hal terkait dengan Pendaftaran Kapal Perikanan adalah :
  1. Pendaftaran kapal perikanan adalah encatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku kapal perikanan.
  2. Buku kapal perikanan adalah buku yang memuat informasi hasil pendaftaran kapal perikanan yang berisi data kapal perikanan dan identitas pemilik serta perubahan - perubahan yang terjadi terhadap fisik dan dokumen kapal perikanan.
  3. Tanda pengenal kapal perikanan adalah tanda atau notasi tentang identitas kapal perikanan berupa wilayah operasional, fungsi atau jenis kapal (penangkap ikan, pengangkut ikan, kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan) dan nomor registrasi tempat kapal didaftarkan sebagai kapal perikanan.
  4. Penandaan kapal perikanan adalah kegiatan untuk memberi tanda atau notasi kapal perikanan.
PENDAFTARAN KAPAL PERIKANAN digunakan untuk persyaratan penerbitan SIPI/SIKPI kecuali untuk kapal perikanan yang berukuran dibawah 5 GT.
Kewenangan pendaftaran kapal perikanan adalah sebagaimana gambar berikut :
kewenangan pendaftaran kapal
Kapal perikanan yang telah dilengkapi dengan Buku Kapal Perikanan dan SIPI/SIKPI diberi tanda pengenal kapal perikanan seperti contoh berikut :
tanda kapal
Arti pada tanda di atas A/711/KP-PS/000001 adalah sebagai berikut :
  1. A               =  Kewenangan pusat
  2. 711          =  Wilayah Pengelolaan Perikanan - RI 711 (Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cinas Selatan)
  3. KP-PS     =  Kapal penangkap ikan dengan alat tangkap Pukat Cincin
  4. 000001   =  Nomor urut registrasi/pendaftaran "000001" di Pusat
dengan penjelasan bahwa "Kapal KM. NUSANTARA - I merupakan kapal penangkap ikan dengan alat tangkap pukat cincin yang berooperasi di daerah penangkapan ikan WPP-RI 711 terdaftar di Pusat dan telah didaftarkan dengan Nomor Pendaftaran 000001"
KEWAJIBAN PEMEGANG BUKU KAPAL PERIKANAN :
  1. Melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam buku kapal perikanan.
  2. Mengajukan permohonan perubahan buku kapal perikanan kepada pemberi ixin dalam hal akan melakukan perubahan identitas pemilik kapal perikanan dan kapal perikanan.
  3. Mengajukan permohonan penggantian buku kapal perikanan dalam hal buku kapal perikanan hilang atau rusak.
  4. Mengajukan permohonan penghapusan buku kapal perikanan dalam hal buku kapal perikanan berhanti bendera, tenggelam, hilang, rusak dan.atau tidak dioperasikan lagi sebagai kapal perikanan.
SANKSI - SANKSI :
1. Sanksi administratif
Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pendaftaran dan penandaan kapal perikanan diberikan sanksi administratif yang dapat berupa peringatan tertulis, pembekuan atau pencabutan Buku Kapal Perikanan.
2.  Sanksi pidana
  • Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya dikenakan sanksi pidana.
  • Sanksi pidana tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang - undangan.

Rabu, 27 Agustus 2014

Jumat, 15 Agustus 2014

Narkoba puntung

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5141cd01a7dac/pemilik-puntung-ganja-=-pengedar-ganja?

Narkoba

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt52268da4d4157/ancaman-pidana-bagi-calo-transaksi-narkotika

Sabtu, 09 Agustus 2014

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesiasalah satu makna retensi adalah penyimpanan atau penahanan.
 
Dalam hukum, hak retensi kerap dikaitkan dengan pemberian kuasa.Mengenai pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792-1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Lebih jauh bisa Anda simak dalam artikel Aturan Pemberian dan Penerimaan Kuasa dan Ciri dan Isi Surat Kuasa Khusus.
 
Maksud dari hak retensi adalah hak dari penerima kuasa untuk menahansesuatu yang menjadi milik pemberi kuasa karena pemberi kuasa belum membayar kepada penerima kuasa hak penerima kuasa yang timbul daripemberian kuasa. Ketentuan mengenai hal ini dapat kita temui dalam Pasal 1812 KUHPer:
 
“Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.”
 
Hak retensi ini dimiliki antara lain oleh advokat. Advokat yang menerima kuasa dari kliennya memiliki hak retensi akibat dari pemberian kuasa tersebut. Apabila terdapat kewajiban, misalnya pembayaran biaya jasa hukum, yang belum dipenuhi oleh kliennya, maka advokat dapat menggunakan hak retensinya untuk menahan kepunyaan kliennya. Misal, advokat dapat menahan berkas atau dokumen-dokumen perkara kliennya ketika honorariumnya belum dibayarkan oleh klien.
 
Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam Kode Etik Advokat disebutkan bahwa hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.
 
Jadi, hak retensi adalah hak dari penerima kuasa untuk menahan kepunyaanpemberi kuasa yang ada padanya sampai pemberi kuasa memenuhi kewajiban yang timbul dari pemberian kuasa.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Burgerlijk Wetboek Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847)
Langkah Hukum Jika Penerima Kuasa Tidak Menyerahkan Uang Hasil Penjualan
Si A memberikan kuasa khusus/mutlak kepada si B untuk menjual, menerima hasil penjualan serta tindakan hukum lainnya. Selanjutnya si B telah menerbitkan APJB kepada si C berdasarkan surat kuasa di atas. Setelah menerima pembayaran Si C, si B hanya menyerahkan sebagian kecil uang dari hasil penjualan tanah tersebut kepada si A dan sebagian besar dianggap sebagai haknya dengan alasan bahwa dalam surat kuasa tidak tercantum tentang pembagian hasil penjualan kepada si A sehingga si B menganggap pembagian tersebut adalah pemberian dari si A kepada si B. Apakah perbuatan si B dapat dipidanakan? Apakah dengan terbitnya APJB tanah si A telah berpindah hak? Apa langkah hukum yang harus si A tempuh? Apakah surat kuasa di atas bisa dicabut atau dibatalkan? Terima kasih.
DIDIK SAPUTRA
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4e802b468c131/lt4fa796a70d023.jpg
Pada hakikatnya sebuah kuasa diberikan oleh pemberi kuasa kepadapenerima kuasa adalah untuk melaksanakan hal-hal yang diatur dalam pemberian kuasaBerdasarkan pertanyaan yang disampaikan terdapat beberapa perbuatan yang dikuasakan antara lain:
1.    Menjual,
2.    Menerima hasil penjualan, serta
3.    Tindakan hukum lainnya.
 
Bahwa terkait dengan pengertian perbuatan “menerima hasil penjualan”sebagaimana disebutkan dalam kuasa yang dibuat, tidak kemudian dapat diasumsikan oleh si penerima kuasa termasuk dalam perbuatan “memiliki atau menguasai hasil penjualan (baik seluruh maupun sebagian) untuk dapat dipergunakan guna kepentingan penerima kuasa sendiri, sebab perbuatan “menerima” tidak dapat diartikan sama dengan “memiliki”Terlebih sepanjang dalam kuasa yang telah diberikan tidak mencakup tentang penguasaan dan pemilikan hasil penjualan oleh si penerima kuasa.
 
Sebelum berbicara perbuatan si penerima kuasa dari sudut pandang hukum pidana, hendaknya perlu dipahami terlebih dahulu aspek hukum keperdataannya, dimana permasalahan hukum terjadi bermula pada adanya suatu perbuatan keperdataan antara si A selaku pemberi kuasa dengan si B selaku penerima kuasa.
 
Bahwa hal tentang pemberian kuasa diatur dalam ketentuan Pasal 1792Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mendefinisikan pemberian kuasa sebagai berikut:
 
“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya,untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
 
Sehingga terkait dengan perumusan “menyelenggarakan suatu urusan”harus ditegaskan dalam kuasa tersebut mengenai urusan yang dimaksudkan dalam pemberian kuasaHendaknya penegasan kalimat menyangkut perbuatan yang diatur tersebut tidak menimbulkan definisi selain daripada yang dikehendaki oleh pemberi kuasa atau dengan kata lain pergunakan kalimat-kalimat yang tidak menyebabkan ambiguitas.
 
Kemudian, menyikapi permasalahan yang timbul ketika pelaksanaan sebuah kuasa dalam hal ini ketika si B selaku penerima kuasa tidak menyerahkan seluruh hasil penjualan kepada si A selaku pemberi kuasaapabila dalam pemberian kuasa tidak mengatur bahwa penerima kuasa berhak memiliki sebagian atau seluruh hasil penjualan, maka penerima kuasa tidak berhak untuk menguasai hasil penjualan tersebut. Sebab si B selaku penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apapun yang melampaui kuasanya sebagaimana juga telah diatur dalam ketentuanPasal 1797 KUHPerdata.
 
Selain itu perlu untuk diketahui bahwa si B selaku penerima kuasa hendaknya juga memahami kewajiban selaku penerima kuasa, khususnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1802 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi demikian:
 
“Si kuasa diwajibkan memberikan laporan tentang apa yang diperbuatnya dan memberikan perhitungan kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi kuasa.”
 
Menjawab pertanyaan selanjutnya, mengenai potensi pemidanaan terhadap si B dapat dilakukan dalam rangka menghukum perbuatan si B. Namun jika tujuan si A adalah pemulihan hak berupa pengembalian seluruh uang hasil penjualan tanah maka menempuh proses pemidanaan tidak tepat untuk dilakukanIni karena permasalahan hukum yang timbul bermula pada adanya hubungan keperdataan yaitu dengan cara pemberian suatu kuasa, bilamana terdapat hak yang tidak terpenuhi atau dilanggar ketika dijalankannya kuasa tersebut, maka pemulihan hak keperdataan dapat ditempuh melalui upaya hukum perdata yaitu gugatan ganti rugi.
 
Akan tetapi, seringkali hukum pidana disalahgunakan sebagai suatu instrumen hukum yang dapat memaksa untuk mempercepat perolehan pemulihan hak keperdataan yang hendak dicapaiContohnya, si A berhutang uang pada si B kemudian si A tidak mampu membayar. Lalu si B membuat laporan polisi dengan dugaan tindak pidana penipuan dan/atau tindak pidana penggelapan. Karena takut dipenjara akibat adanya laporan polisi tersebut akhirnya si A berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan sejumlah uang yang dipinjamnya dari si B.
 
Adapun pendapat hukum yang kami sampaikan ini dengan berdasarkanYurispudensi Nomor:54/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1970 yang kaidah hukumnya menyebutkan “Hakim Pidana tidak berwenang menetapkan ganti rugi”Sehingga pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh si B tidak dapat diikuti dengan hukuman pemulihan hak dari si A yaitu dengan cara mengembalikan sejumlah uang sebagai ganti kerugian atas hak si A yang sempat dikuasai oleh si B.
 
Namun terdapat potensi pemidanaan terhadap perbuatan si B ketika iatidak mengembalikan sejumlah uang hasil penjualan atas tanah kepada si A. Hal ini sepanjang tidak diatur dalam pemberian kuasa bahwa si B berhak atas pembagian baik seluruh maupun sebagian dari uang hasil penjualan tersebut. Adapun tindak pidana yang dimaksud di sini adalah tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 372Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) yang selengkapnya berbunyi demikian:
 
“Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-“
 
Sedangkan mengenai “perpindahan hak” dengan adanya Akta Perjanjian/Perikatan Jual Beli (APJB) antara si B dengan si C, dimana si B dalam melangsungkan perjanjian tersebut bertindak berdasarkan adanya kuasa dari A, sepanjang belum dilakukannya penyerahan (levering)obyek jual beli dari si penjual kepada si pembeli maka hak milik atas barang tersebut tidak berpindah sebagaimana diatur dalam ketentuanPasal 1459 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi demikian:
 
“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613 dan 616.”
 
Bahwa penyerahan (levering) yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata tersebut jika obyek jual beli merupakan benda tidak bergerak atau dalam hal ini adalah sebidang tanah, maka perlu untuk dicermati ketentuan Pasal 616 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi demikian:
 
“Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 620.”
 
Kemudian ketentuan Pasal 620 KUHPerdata selengkapnya berbunyi demikian:
 
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan itu berada, dan dengan membukukannya dalam dalam register.”
 
Saat ini atau sejak adanya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”), maka “kantor penyimpan hipotik” yang dimaksud dalam ketetentuan Pasal 620 KUHPerdata adalah Kantor Pertanahanyang merupakan unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah kabupaten, kotamadya, atau wilayah administratif lain yang setingkat, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam ketetentuanPasal 29 UUHT yang selengkapnya berbunyi demikian:
 
“Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.”
 
Oleh karenanya, selama belum dilakukannya proses balik nama (dari si A menjadi si C) atas sertipikat atas tanah yang dimaksud, maka secara hukum belum terjadi perpindahan hak, dan mengenai proses balik nama hanya dapat dilakukan oleh Kantor Pertanahan dimana tanah tersebut berada.
 
Kesimpulannya, terkait perpindahan suatu hak atas tanah dapat dilihat pada sertipikat yang dimaksud, sebab pada sertipikat tertera nama pemilik. Selama belum dilakukan penggantian nama pemilik maka si A masih merupakan pemilik dari tanah tersebut meskipun telah ada APJB antara si B dengan si C. Sebagai informasi tambahan berikut aturan hukum terkait sertipikat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1)Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,yang berbunyi:
 
Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
 
Terkait dengan proses jual beli, berikut terdapat beberapa yurisprudensi yang mengatur seputar proses jual beli, diantaranya:
 
1.    Yurisprudensi Nomor:86K/Sip/1972 tanggal 30 Oktober 1976yang kaidah hukumnya berbunyi demikian:
 
“Dengan adanya uang panjar saja, belumlah ada jual beli mengenai rumah tersengketa.”
 
2.    Yurisprudensi Nomor:10K/Sip/1983 tanggal 7 Mei 1984 yang kaidah hukumnya berbunyi demikian:
 
“Penguasaan saja terhadap tanah sengketa tanpa bukti adanya alas hak (rechts titel) dari pada penguasaan itu, belumlah membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah pemilik tanah tersebut.”
 
3.    Yurisprudensi Nomor:3045K/Pdt/1991 tanggal 30 Mei 1996 yang salah satu kaidah hukumnya berbunyi demikian:
 
“Jual beli (tanah) harus dilakukan di hadapan PPAT dan sertipikat tanah merupakan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum.”
 
4.    Yurisprudensi nomor:516/Pdt/1995 tanggal 27 Juni 1997 yang salah satu kaidah hukumnya berbunyi demikian:
 
“Jual beli yang tidak diikuti dengan levering, maka berdasarkan pasal 1459 BW hak milik atas tanah tersebut belum berpindah kepada si pembeli, jadi masih tetap berada pada pemilik lama.”
 
Menjawab pertanyaan terakhir mengenai langkah hukum yang dapat ditempuh guna mendapatkan kembali pemulihan hak si A berupa hasil penjualan tanah, jika si A merupakan pemilik atas tanah yang dimaksud maka dapat mengajukan gugatan perdata terhadap si B dan si C melalui Pengadilan Negeri setempat. Setidak-tidaknya substansi gugatan yang dimaksud melingkupi pokok perkara sebagai berikut:
1.    Penarikan kuasa dari si A kepada si B sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata,
2.    Oleh karena adanya penarikan kuasa dari si A kepada si B dengan memuat alasan penarikannya, maka dapat dimohonkan pembatalan terhadap APJB yang dibuat oleh si B dengan si C,
3.    Bahwa dengan dibatalkannya APJB, si C menderita kerugian berupa sejumlah uang pembelian yang telah dibayarkan kepada si B, maka si A selaku Penggugat dapat memohon penjatuhan penghukuman terhadap si B dalam perbuatan “membayarkan kembali kepada si C berupa seluruh uang pembelian yang telah diterima si B beserta segala bentuk kerugian yang diderita si C akibat pembatalan APJB tersebut”, hal ini dimohonkan dengan berdasar pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
 
Demikian disampaikan, kiranya bermanfaat dalam mengatasi permasalahan hukum yang dihadapi.
 
Dasar Hukum:
Ketentuan Pasal 1 butir kesatu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU No. 44 Tahun 2008”) telah mengatur definisi pornografi sebagai berikut:
 
“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
 
Berdasarkan definisi pornografi yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir kesatu UU No. 44 Tahun 2008, batasan pornografi tidak hanya berdasar telanjang bulat atau setengah telanjang. Namun penekanan pornografi adalah pada ada tidaknya termuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat, dan batasannya tidak hanya pada kondisi telanjang. Sebab dalam keadaan berpakaian lengkap atau tertutup, kesan cabul atau eksploitasi seksual dapat diperlihatkan melalui ekspresi muka, gerak tubuh maupun suara.
 
Seperti halnya terdapat beberapa gambar yang sering ditemukan ketika menjelajah dunia maya, khususnya saat hendak mencari informasi hal-hal terkait dengan kesehatan atau medis, banyak sekali disajikan gambar manusia dalam keadaan telanjang untuk menjelaskan kondisi organ dan posisi organ tubuh yang dimaksud guna kepentingan ilmu kesehatan. Contohnya ketika mencari gambar-gambar seputar kehamilan banyak disajikan foto seorang ibu memperlihatkan besarnya kehamilan tanpa penutup pada bagian perutnya, tentu saja hal ini kemudian tidak dapat diklasifikasikan dalam definisi pornografi.
 
Selanjutnya secara spesifik Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 menyebutkan batasan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat:
 
  1.       persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
  2.       kekerasan seksual;
  3.       masturbasi atau onani;
  4.       ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  5.       alat kelamin; atau
  6.       pornografi anak.
 
Demikian jawaban kami, kiranya dapat membantu Saudara.Terima kasih.
 
Dasar hukum:
Ketentuan Pasal 1 butir kesatu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU No. 44 Tahun 2008”) telah mengatur definisi pornografi sebagai berikut:
 
“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
 
Berdasarkan definisi pornografi yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir kesatu UU No. 44 Tahun 2008, batasan pornografi tidak hanya berdasar telanjang bulat atau setengah telanjang. Namun penekanan pornografi adalah pada ada tidaknya termuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat, dan batasannya tidak hanya pada kondisi telanjang. Sebab dalam keadaan berpakaian lengkap atau tertutup, kesan cabul atau eksploitasi seksual dapat diperlihatkan melalui ekspresi muka, gerak tubuh maupun suara.
 
Seperti halnya terdapat beberapa gambar yang sering ditemukan ketika menjelajah dunia maya, khususnya saat hendak mencari informasi hal-hal terkait dengan kesehatan atau medis, banyak sekali disajikan gambar manusia dalam keadaan telanjang untuk menjelaskan kondisi organ dan posisi organ tubuh yang dimaksud guna kepentingan ilmu kesehatan. Contohnya ketika mencari gambar-gambar seputar kehamilan banyak disajikan foto seorang ibu memperlihatkan besarnya kehamilan tanpa penutup pada bagian perutnya, tentu saja hal ini kemudian tidak dapat diklasifikasikan dalam definisi pornografi.
 
Selanjutnya secara spesifik Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 menyebutkan batasan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat:
 
  1.       persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
  2.       kekerasan seksual;
  3.       masturbasi atau onani;
  4.       ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  5.       alat kelamin; atau
  6.       pornografi anak.
 
Demikian jawaban kami, kiranya dapat membantu Saudara.Terima kasih.
 
Dasar hukum:
Ketentuan mengenai pemberian kuasa secara tersirat dapat kita temui dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPer"). Pemberian kuasa ini dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa(lihatPasal 1793 KUHPer).
 
Pemberian kuasa ini dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenaisatu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputisegala kepentingan pemberi kuasa (lihat Pasal 1795 KUHPer).Dan untuk tujuan pemberian kuasa tersebut, pemberi kuasa dapat memberikan surat kuasa (tertulis), antara lain:
a.     Surat Kuasa Khusus
Surat kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih (lihat Pasal 1975 KUHPer). Dalam surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.
 
b.     Surat Kuasa Umum
Surat kuasa umum, berdasarkan Pasal 1796 KUHPer, dinyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Sehingga, surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.
 
Jadi, yang membedakan surat kuasa khusus dan surat kuasa umum antara lain adalah:
Perbedaan
Surat Kuasa Umum
Surat Kuasa Khusus
Dasar Hukum
Pasal 1796 KUHPer
Pasal 1975 KUHPer
Judul
Mencantumkan kata-kata
“Surat Kuasa Umum”
Mencantumkan kata-kata “Surat Kuasa Khusus”
Isi
Meliputi 1 kepentingan atau lebih dari pemberi kuasa yang diperinci mengenai hal-hal yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa
Meiputi pengurusan segala kepentingan pemberian kuasa
 
Lebih jauh mengenai surat kuasa ini simak:
-            Kuasa Umum atau Kuasa Khusus?;
-            Surat Kuasa dan Surat Tugas.
Dalam praktik, dikenal pula yang disebut dengan surat kuasa mutlak. Simak juga artikel mengenai Surat Kuasa Mutlak.
 
Memang dalam praktiknya, kekurangan, ketidaktepatan dan kesalahan dalam pembuatan surat kuasa tidak dapat dihindari. Namun, perlu digarisbawahi bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun yang melampaui yang dikuasakan kepadanya (lihat Pasal 1797 KUHPer).
 
Adanya salah kaprah tentang konsep kuasa umum dan kuasa khusus dalam praktik juga dibahas Rachmad Setiawan dalam buku “Hukum Perwakilan dan Kuasa.” Dia menulis antara lain bahwa praktik mengartikan suatu kuasa khusus adalah kuasa yang harus dinyatakan secara terperinci sehingga mengandung kriteria spesialitas. Kalau tak rinci maka dianggap kuasa umum. Praktik ini, menurut Rachmad, sangat keliru. Pengertian khusus dan umum, menurutnya, tidak mengacu kepada rinci atau tidak rincinya kuasa yang diberikan, melainkan dilihat apakah yang dikuasakan itu mengandung tindakan hukum tertentu atau tidak tertentu alias semua tindakan hukum.
 
Dalam artikel hukumonline “Kuasa, ‘Jalan di Tempat’ Sejak Nusantara Merapat” lebih jauh dijelaskan pendapat Rachmad sebagai berikut:
 
… Kuasa Umum itu kuasa untuk melakukan tindakan apa saja, dan juga bisa hal tertentu saja. Tapi sebatas tindakan pengurusan atau hal-hal umum. Perbuatannya, biasanya nggak terlalu signifikan. ‘Pengurusan sehari-hari lah,’ paparnya. Dalam BW ada di Pasal 1796. Namun dari kuasa umum ini, jika hendak melakukan penguasaan, diperlukan syarat-syarat. Disebutkan bahwa tindakan penguasaan itu harus dinyatakan dengan tegas.
 
“Sedangkan kuasa khusus, lanjutnya, kuasa untuk satu dua perbuatan tertentu. Khusus, paparnya, karena bisa melakukan tindakan hukum penguasaan. Mengacu pada BW ada di 1795. Contoh kuasa khusus ini adalah kuasa menyewakan rumah, mengakhiri sewa, dan bila perlu menagih uang sewa rumah sekaligus kwitansinya. Sementara kalau kuasa umum tadi hanya untuk mengurus rumahnya, urainya.
 
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)