Selasa, 13 September 2016
Alamat kantor otto H
Alamat:
OTTO HASIBUAN & ASSOCIATES
ADVOCATES & LEGAL CONSULTANTS
Komplek Duta Merlin Blok B-30
Jl. Gajah Mada No. 3-5 Jakarta 10130 - Indonesia
Telp: 021-6335138 (Hunting)
Fax: 021-6333326
E-mail: ottohsb@ottohasibuanlaw.com
Jumat, 09 September 2016
Rabu, 07 September 2016
Tokoh islam
Menu

Tokoh-Tokoh Islam Nusantara
Catatan Perjalanan Hidup Para Tokoh Ulama Di Indonesia
Syaikh Abdul Malik KedungParuk

Latar Belakang Dan Nasab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas, atau lebih dikenal sebagai Syaikh Muhammad Abdul Malik. Beliau dilahirkan di Kedung Paruk, Purwokerto pada hari Jum’at, 3 Rajab 1294 H/1881 M. Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan “Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran) dari Pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.
Pendidikan
Sejak kecil Syaikh Abdul Malik belajar Al-Qur’an dari ayahnya, Syaikh Muhammad Ilyas, kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH. Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Beliau juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja, sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Syaikh Abdul Malik yang bernama Kiai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya, yang memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.
Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa oleh sang ayah, beliau dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain.
Pada tahun 1327 H. Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya beliau berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Syaikh Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, beliau kemudian lebih dikenal sebagai Syaikh Abdul Malik Kedung Paruk.
Menurut beberapa santrinya, Syaikh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu. Perlu diketahui, Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jamaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Beliau bekerjasama dengan asy-Syaikh Mathar Makkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Makkah, beliau memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Makkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar.
Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar al-‘Allamah.
Syaikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci, di antaranya:
• Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, beliau berguru kepada Sayyid Umar Syatha’ dan Sayyid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin Hasyiyah Fathul Mu’in).
• Dalam ilmu Hadits, beliau berguru pada Sayyid Thoha bin Yahya al-Maghribi (ulama Hadhramaut yang tinggal di Makkah), Sayyid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayyid Muhsin al-Musawwa, asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi.
• Dalam bidang ilmu Syariah dan Thariqah Alawiyah beliau berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-Aththas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).
• Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi al-Makki (Makkah).
Murid-Murid
Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH. Khalil (Sirampog, Brebes), KH. Anshori (Linggapura, Brebes), KH. Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Murid-murid lainnya dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH. Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH. Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah an-Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH. Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH. Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kiai, ulama maupun shalihin.
Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-
Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.” Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.
Selain menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syaikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kiai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Dakwah Dan Perjuangan
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syaikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka beliau pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, beliau justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka beliau pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.
Pada masa Gestapu, Syaikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syaikh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Keluarga
Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri
pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, Kiai Abu Bakar bin Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953 M, pada usia sekitar 30 tahun).
Istri kedua Syaikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syaikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, “Pak Kiai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syaikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya. Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syaikh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syaikh Abdul Malik diteruskan.
Kepribadian
Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat
Nabi Khidir As atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain.
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan
menghormatinya. Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH. Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.
Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata kepada para jamaah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”
Wafat
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syaikh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwatnya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syaikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.
11/04/2014Leave a reply
Al-Habib Ali bin Husein al-Aththas

Latar Belakang Dan Nasab
Al Habib Ali bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ja’far bin Ali bin Husein bin Al-Quthb Al-Habib Umar bin Abdurrahman bin Aqil al-Aththas bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman as-Seqqaf bin Muhammad Mauladawileh bin Ali Maula Darrak bin Alwy al-Ghuyyur bin Al-
Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali Ar-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib ibin Sayidatina Fathimah az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Habib Ali bin Husin al-Aththas dilahirkan di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H atau 1889 M, juga dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Karena pada akhir hayatnya, beliau dan keluarga tinggal di Bungur, Jakarta Pusat. Sebelumnya, guru sejumlah kiai Jakarta ini tinggal di Cikini, Jakarta Pusat. Hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali Cikini.; Pada tahun 1960-an, rumahnya di Cikini terbakar. Maka beliau pun pindah ke Bungur, sebuah kampung di kawasan Senen, yang mayoritas penduduknya warga Betawi.
Pendidikan
Sejak usia enam tahun beliau telah menuntut ilmu keislaman pada sebuah ma’had atau pesantren di Hadramaut. Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 M dalam usia 23 tahun beliau pun menunaikan ibadah haji. Di Makkah, Habib Ali menetap selama lima tahun yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama. Pada tahun 1917 M, beliau kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1920 M, dalam usia 41 tahun, beliau pun berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, Habib Ali yang selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Beliau mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Beliau dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat.
Setelah menetap di Jakarta, beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air, diantaranya :
• Al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Empang Bogor)
• Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas (Pekalongan)
• Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya)
• Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor (Bondowoso).
Dakwah
Semasa hidupnya Habib Ali al-Aththas selalu berjuang membela ummat, kesederhanaan serta istiqomahnya dalam mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi tauladan yang baik bagi ummat. Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa Islam mengajak ummat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari taraf kemiskinan kepada taraf keadilan dan kemakmuran.
Habib Ali al-Aththas, selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya. Di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu. Seperti Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi (putra Habib Ali Kwitang), Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Malang), KH. Abdurrazzaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh ( penulis terkenal dan produktif di masanya), KH. Abdullah Sjafi’ie (pimpinan majelis taklim Assyfi’iyah), KH. Thohir Rohili (pimpinan majelis taklim Attahiriyah), KH. Syafi’i Hadzami (ketua umum MUI Jakarta), dan puluhan ulama lainnya. Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh, dan perguruan tinggi Islam.
Karya Dan Pemikiran
Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fiqih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai mazhab.
Lewat tangan Habib Ali al-Aththas, lahir sebuah karya besar dan penting, kitab Taj al-A’ras fi Manaqib al-Habib al-Quthub Shalih bin Abdullah al-Aththas; terdiri dari dua jilid tebal, jilid pertama 812 halaman (termasuk daftar isi) sedangkan jilid ke dua 867 halaman. Dalam kitab yang diterbitkan tahun 1977 ini, Habib Ali meenguraikan perjalanan hidup banyak tokoh Ulama dan orang-orang terkemuka yang pernah beliau jumpai, khususnya di Hadramaut, baik dari kalangan Habaib maupun yang lain.
Dalam kitab yang terbilang langka ini, juga terdapat ulasan-ulasan mengenai persoalan-persoalan penting. Baik yang berkaitan dengan habaib maupu yang bersifat umum. Seperti dalil-dalil tentang karomah para wali, bahasan tentang ‘ilmu yaqin, haqqul yaqin dan ‘ainul yaqin. Juga mengenai thariqoh Alawiyah, pandangan ulama Alawiyyinmengenai karya-karya Ibnu Arabi, air zamzam, firasat orang mu’min sebagaimana yang tertera dalam hadits, ruqyah.
Dibahas pula mengenai penjajahan Inggris terhadap Hadramaut, keadaan Hadramaut sebelum dijajah, serangan kaum Wahabi di Huraidhah dan Wadi ‘Amd, masuknya Isam di Jawa, Sultan Hasanuddin Banten, perang dunia II, mengenai Imam Yahya dari Yaman, tentang Betawi, pemakaman tanah abang, kisah Laila dan Majnun. Juga persoalan – persoalan fiqih dalam Madzhab Syafi’i, celak mata dan lain-lain.
Wafat
Habib Ali bin Husein al-Aththas wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan beliau dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, condet Jakarta timur.
* Dari berbagai sumber
11/04/2014Leave a reply
Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi

Latar Belakang Dan Nasab
Ibunda Habib Ali al-Habsyi bernama Nyai Salmah, puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Ketika awal perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi, beliau lama sekali tidak memperoleh seorang putra pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya.
Mendengar mimpi istrinya, Habib Abdurrahman segera menemui Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah akan mendapatkan seorang putra yang shaleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya. Apa yang dikemukakan oleh Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 H. bertepatan tanggal 20 April 1870 M. lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, kelak kemudian lebih terkenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang.
Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatullah ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut. Habib Abdurrahman wafat pada tahun 1881 M, dan dimakamkan di Cikini, belakang Taman Ismail Marzuki, yang kala itu milik Raden Saleh.
Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Habib Abdullah menikah di Semarang dan ketika dalam pelayaran kembali ke Pontianak, beliau wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali datang dari Hadramaut, lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para Sultan dari Klan Algadri.
Nasab Habib Ali al-Habsyi adalah: Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi (shahib syi’ib) bin Muhammad bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi, nasab ini terus bersambung hingga Rasulullah SAW.
Pendidikan
Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali al-Habsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi tidak meninggalkan harta benda apapun.
Ketika usianya mencapai sekitar 11 tahun, Habib Ali berangkat ke Hadramaut untuk belajar agama. Tempat pertama yang ditujunya ialah ke rubath Al-Habib ‘Abdur Rahman bin ‘Alwi al-’Aydrus. Di sana beliau belajar dengan para ulamanya, antara lain yang menjadi gurunya ialah:
• Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Maulid Simthud Duror)
• Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas
• Al-Habib Hasan bin Ahmad al-Aydrus
• Al-Habib Zein bin Alwi Ba’abud
• Asy-Syaikh Hasan bin Awadh Mukkaddam
• Al-Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (Mufti Ad-Dhiyyar al-Hadramiyyah)
• Al-Habib Umar bin Idrus bin Alwi al-Aydrus
• Al-Habib Alwi bin Abdurrahman al-Masyhur
Pada tahun 1300 H, Habib Ali menghadiri majelis maulid yang diadakan oleh Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Maulid Simthud Duror) di Seiwun, Hadramaut. Pada saat itu hadir pula Al-Quthub Al-Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdhor beserta anak-anaknya. Di sana Habib Ali bertemu dengan para ulama dan auliya’. Di kesempatan itulah beliau pergunakan untuk meminta doa dan ijazah kepada mereka. Setelah bermukim selama enam tahun di Hadramaut, sekitar tahun 1303 H bertepatan dengan tahun 1886 M beliau pulang ke tanah air.
Walaupun Habib Ali lama belajar di Hadramaut, beliau tidak menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya sudah cukup. Beliau masih dan selalu mengambil manfaat dari para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu. Beliau mengambil ilmu dari mereka. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah:
• Al-Habib Muhammad bin Thohir al-Haddad (Tegal)
• Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya)
• Al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Empang, Bogor)
• Al-Habib Husain bin Muhsin asy-Syami al-Aththas (Jakarta)
• Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor (Bondowoso)
• Al-Habib Ahmad bin Muhsin al-Haddar (Bangil)
• Al-Habib Abdullah bin Ali al-Haddad (Bangil)
• Al-Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi)
• Al-Habib Muhammad bin Alwi ash-Shulaibiyah al-Aydrus
• Al-Habib Salim bin Abdurrahman al-Jufri
• Al-Habib Husein bin Muhsin al-Aththas
• Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan)
• K.H. Abdul Hamid (Jatinegara)
• KH. Mujtaba bin Ahmad (Jatinegara).
Pada usia 20 tahun Habib Ali al-Habsyi menikah dengan Hababah Aisyah Assegaf dari Banjarmasin. Beberapa waktu kemudian beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya, Rasulullah SAW di Madinah. Selama di sana beliau pergunakan untuk menuntut ilmu dan mendapatkan ijazah dari ulama di Makkah, diantaranya:
• Al-Imam Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti Makkah)
• Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati
• Asy-Syaikh Muhammad Said Babsail (Pengarang Kitab I’aanathuth Thoolibiin)
• Asy-Syaikh Umar Hamdan al-Maghribi
• Asy-Syaikh Umar bin Abi Bakar Bajunaid
• Al-Habib Abdullah bin Muhammad Sholih az-Zawawi.
Sedangkan di kota Madinah Al-Munawwaroh, beliau belajar kepada:
• Al-Habib Ali bin Ali al-Habsyi
• Al-Habib Abdullah Jamalullail (Syaikh Al-Asaadah)
• Asy-Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Azabi, anak dari pengarang kitab Maulid Azabi.
Dakwah
Setelah kembali ke tanah air, Habib Ali al-Habsyi aktif dalam mengembangkan dakwah Islamiyyah, mengajak ummat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam dengan dasar cinta kepada Allah dan Muhammad SAW. Selain di pengajian tetap di Majlis Taklim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan ummat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung.
Selain itu Habib Ali juga berdakwah ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilangka dan Mesir. Selain itu beliau juga sempat menulis beberapa kitab, di antaranya Al-Azhar al-Wardiyyah fi as-Shuurah an-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi ash-Shalawat ala Khair al-Bariyyah.
Pada tahun 1919 M, Habib Ali mendapat mandat untuk mensyiarkan Maulid Simthud Duror dari gurunya, Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, bahkan isyarat dari Rasulullah SAW. Maka pada tahun 1920 M, Habib Ali mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Duror di kawasan Tanah Abang. Dan pada tahun 1937 M, acara maulid diselenggarakan di Kwitang, Jakarta Pusat.
Selama hayatnya, Habib Ali al-Habsyi melaksanakan Maulid dengan pembacaan Simthud Duror, rutin setiap akhir Kamis atau Lamis terakhir bulan Rabi’ul Awwal sebanyak 51 kali. Di tangan beliau, Maulid Simthud Duror bekembang dengan pesat dan dikunjungi jamaah bukan hanya dari masyarakat Jabotabek, tapi juga dari daerah-daerah lain dan bahkan dari negara-negara sahabat.
Dalam rangka memantapkan tugas dakwahnya, Habib Ali membangun Masjid ar-Riyadh tahun 1940-an di Kwitang serta di samping masjid tersebut didirikannya sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Unwanul Falah. Tanah yang digunakan untuk membangun masjid tersebut merupakan wakaf yang sebagian diberikan oleh seorang betawi bernama Haji Jaelani (Mad Jaelani) asal Kwitang. Banyak ulama Betawi atau Jakarta yang pernah menjadi muridnya atau pernah belajar di madrasah yang didirikannya.
Di antara muridnya yang terkenal adalah KH. ‘Abdullah Syafi’i (pendiri Majlis Taklim Assyafi’iyah), KH. Thahir Rohili (pendiri Majlis Taklim Atthohiriyah) dan KH. Fathullah Harun (ayah dari Dr. Musa Fathullah Harun, seorang bekas pensyarah UKM).
Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali selalu menganjurkan agar ummat Islam senantiasa berbudi luhur, memegang teguh ukhuwah Islamiyah dan meneladani keluhuran budi Rasulullah SAW, beliau juga menganjurkan kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat dan Negara, dengan mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan Rasulnya.
Wafat
Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi sebelum akhir hayatnya pada tahun 1968 M. mengalami pingsan selama kurang lebih 40 hari. Beliau hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa sadarkan diri. Dalam keadaan itu beliau senantiasa disuapi air zamzam oleh putranya sebagai pengganti makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.
40 hari kemudian, akhirnya Habib Ali al-Habsyi mulai sadar. Dipanggillah putranya: “Ya Muhammad, antar Abah ke hammam (kamar mandi) untuk bersih-bersih diri.” Mendengar ucapan ayahandanya seperti itu, Habib Muhammad merasa sangat senang karena ayahnya sudah berangsur sembuh. Diantarlah ayahnya oleh Habib Muhammad ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri.
Usai Habib Ali al-Habsyi mandi dan berwudhu, beliau duduk di tempat tidurnya dan meminta dipakaikan pakaian kebesarannya yaitu jubah, imamah dan rida’nya. Lalu beliau meminta putranya untuk membacakan qashidah “Jadad Sulaima ” yang menjadi kegemaran beliau. Qashidah tersebut adalah karangan guru beliau, yaitu Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Simthud Duror). “Ya Muhammad, aku lihat Rasulullah sudah hadir. Bacalah qashidah Jadad Sulaima. Lekaslah baca, ayo Bismillah!”
Mendengar ucapan ayahnya, segera Habib Muhammad membacakan qashidah tersebut sambil menangis dan tidak mampu menyelesaikan qashidah tersebut. Akhirnya yang melanjutkan qashidahnya adalah Habib Husein bin Thaha al-Haddad.
Setelah selesai pembacaan qashidah tersebut, Habib Ali al-Habsyi berkata: “Ya Muhammad, hari apakah ini?”. Habib Muhammad menjawab: “Hari Ahad ya Abah. Jamaah sudah penuh hadir di Majelis.”
Kemudian Habib Ali al-Habsyi kembali berkata: “Ya Muhammad, kirimkan salamku pada seluruh jamaah. Dan pintakan maaf atas diriku pada seluruh jamaah. Pintakan maaf untukku pada mereka. Sesungguhnya diri ini tidak lama lagi, karena sudah datang Rasulullah dan datuk-datuk kita.”
Dengan perasaan sedih yang mendalam, Habib Muhammad pun akhirnya menyampaikan pesan ayahnya pada semua jamaah yang hadir di Majelis Ta’lim Kwitang hari Minggu pagi itu. Tidak lama setelah itu, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sebelum wafatnya, beliau mengajak kepada yang berada di sekitarnya untuk membaca talqin dzikir “ La Ilaha Illallah ”. Semua yang hadir, termasuk Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, dan para keluarga mengikuti ucapan Habib Ali al-Habsyi yang semakin lama semakin perlahan hingga hembusan nafasnya yang terakhir kali.
Akhirnya Habib Ali al-Habsyi wafat di pangkuan Habib Ali bin Husein al-Aththas dalam keadaan berpakaian kebesarannya. Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi wafat hari Ahad 20 Rajab 1388 H/13 Oktober 1968 M. dan dimakamkan di Kwitang.
* Dari berbagai sumber
10/04/2014Leave a reply
Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan

Latar Belakang Dan Nasab
Tidak ada yang tahu kapan persisnya Syaikh Kholil dilahirkan. Sebagian sesepuh keturunan Syaikh Kholil ada yang memperkirakan bahwa Syaikh Kholil lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1835 M.
Syaikh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga
“Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath al-Alawi al-Husaini.
Berikut ini adalah silsilah nasab Syaikh Muhammad Kholil al- Maduri, terlebih dahulu silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga) “Azmatkhan al-Alawi al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.
Jalur Sunan Kudus (garis laki-laki):
• Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan
• Kiai Abdul Lathif (Dimakamkan di Bangkalan)
√ Kiai Hamim (Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan)[1]
• Kiai Abdul Karim
• Kiai Muharram (Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan)
• Kiai Abdul Azhim (Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan)
√ Kiai Selase (Dimakamkan di Selase Petapan, Trageh, Bangkalan)[2]
• Kiai Martalaksana (Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan)
• Kiai Badrul Budur (Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan)
• Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek, dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan)
• Kiai Khatib (Ada yang menyebutnya “Ratib”, dimakamkan di Pranggan, Sumenep)
• Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal, dimakamkan di Sumenep)
• Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos, dimakamkan di Ampel Surabaya)
• Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus, dimakamkan di Kudus)
• Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung, dimakamkan di Kudus)
• Sayyid Fadhal Ali al-Murtadha (Raden Santri/Raja Pandita, dimakamkan di Gresik)
• Sayyid Ibrahim (Asmarakandi, dimakamkan di Tuban)
• Sayyid Husain Jamaluddin (Dimakamkan di Bugis)
• Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin Akbar (Dimakamkan di Naseradab, India)
• Sayyid Abdullah (Dimakamkan di Naserabad, India)
• Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (Dimakamkan di Naserabad, India)
• Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih (Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Ali Khali’ Qasam (Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Alawi (Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Muhammad (Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Alawi (Dimakamkan di Sahal, Yaman)
• Sayyid Abdullah/Ubaidillah (Dimakamkan di Hadramaut, Yaman)
• Al-Imam Ahmad al-Muhajir (Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman)
• Sayyid Isa An-Naqib (Dimakamkan di Bashrah, Iraq)
• Sayyid Muhammad An-Naqib (Dimakamkan di Bashrah, Iraq)
• Al-mam Ali al-Uradhi (Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah)
• Al-Imam Ja’far ash-Shadiq (Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah)
• Al-Imam Muhammad al-Baqir (Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah)
• Al-Imam Ali Zainal Abidin (Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah)
• Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib (Dimakamkan di Karbala, Iraq)
• Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW (Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah).
Maka, dari jalur Sunan Kudus, Syaikh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Ampel (garis perempuan):
• [2]Nyai Tepi Selase (Istri Kiai Selase bin Martalaksana, dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan)
• Nyai Komala (Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan)
• Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana, dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan)
√ Sayyid Muhammad Khatib (Raden Bandardayo, dimakamkan di Sedayu Gresik)[3]
• Sayyid Musa (Sunan Pakuan, dimakamkan di dekat Gunung Muria Kudus)
• Sayyid Qasim (Sunan Drajat, dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan)
• Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel, dimakamkan di Ampel, Surabaya)
• Sayyid Ibrahim Asmarakandi (Dimakamkan di Tuban)
• Sayyid Husain Jamaluddin Akbar (Dimakamkan di Bugis).
[2]Di sini nasab Nyai Tepi Selase dan Kiai Selase bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Syaikh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Giri (garis perempuan)
• [3]Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khatib bin Sayyid Musa, dimakamkan di Giri, Gresik)
• Ali Khairul Fatihi (Panembahan Kulon, dimakamkan di Giri, Gresik)
• Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri, dimakamkan di Giri, Gresik)
• Maulana Ishaq (Dimakamkan di Pasai)
• Sayyid Ibrahim Asmarakandi (Dimakamkan di Tuban)
• Sayyid Husain Jamaluddin Akbar (Dimakamkan di Bugis).
[3]Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khatib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syaikh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.
Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim bertemu.
Jalur Basyaiban (garis perempuan):
• Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim bin Abdul Karim, dimakamkan di Bangkalan)[1]
• Kiai Asror Karomah
• Sayyid Abdullah
• Sayyid Ali Al-Akbar
• Sayyid Sulaiman (Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang)
√ Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Maulana Hasanuddin)[4]
• Sayyid Umar
• Sayyid Muhammad
• Sayyid Abdul Wahhab
• Sayyid Abu Bakar Basyaiban
• Sayyid Muhammad
• Sayyid Hasan at-Turabi
• Sayyid Ali
• Al-Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam
• Sayyid Ali
• Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syaikh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.
Jalur Sunan Gunung Jati (garis perempuan):
• Syarifah Khadijah (Istri Sayyid Abdurrahman bin Umar Basyaiban)[4]
• Maulana Hasanuddin (Dimakamkan di Banten)
• Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, dimakamkan di Cirebon)
• Sayyid Abdullah Umdatuddin
• Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam
• Sayyid Husain Jamaluddin Akbar (Dimakamkan di Bugis).
[4]Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syaikh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.
Pendidikan
Semenjak kecil Syaikh Kholil tinggal bersama kakaknya, Nyai Maryam binti Abdul Lathif. Nyai Maryam bersama sang suami, Kiai Kaffal, yang merawat dan mendidik beliau. Mengajarinya membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Kholil kecil, Kiai Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah pesantren, agar Syaikh Kholil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka mereka pun memilih pesantren Bunga, Gresik, yang diasuh oleh Kiai Sholeh. Namun tidak berapa lama kemudian Syaikh Kholil dimondokkan di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, yang di asuh oleh Kiai Asyik.
Ketika menginjak remaja, beliau pindah ke Pesantren Kebon Candi Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Syaikh Kholil belajar dan tinggal di Pesantren Kebon Candi, namun sambil belajar pada Kiai Nur Hasan Sidogiri. Kiai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya (Kiai Nur Hasan bin Khotim bin Asror Karomah). Setiap berangkat ke Sidogiri, beliau jalan kaki dari Kebon Candi yang berjarak kurang lebih tujuh kilometer.
Untuk mendapatkan ilmu, Syaikh Kholil rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Kebon Candi ke Sidogiri, beliau tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga beliau -dalam perjalanannya itu khatam berkali-kali. Sebenarnya, bisa saja Syaikh Kholil tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kiai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi beliau untuk tetap tinggal di Kebon Candi, yaitu agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah beliau memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi santri, Syaikh Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Qur’an. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Qur’an).
Kemandirian Syaikh Kholil juga nampak ketika beliau berkeinginan untuk menimba ilmu ke Makkah. Karena pada masa itu, belajar ke Makkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, Syaikh Kholil memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Syaikh Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, beliau mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut beliau tabung. Sedangkan untuk makan, Syaikh Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Syaikh Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Syaikh Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Selama dalam perjalanan ke Makkah, beliau selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan membaca Al-Qur’an dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan wirid
dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus sampai di Makkah. Setibanya di Makkah, Syaikh Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari Jawa.
Selama di Makkah, Syaikh Kholil belajar dengan Syaikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Makkah ialah Syaikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Mustafa bin Muhammad al- Afifi al-Makki, Syaikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syaikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syaikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjidil Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian beliau lebih banyak mengaji kepada para Syaikh yang bermadzhab Syafi’i.
Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Syaikh Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Kholil dan Syaikh Shaleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Syaikh Kholil sewaktu belajar di Makkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Syaikh Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sepulang dari Makkah, Syaikh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syaikh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.
Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syaikh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syaikh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syaikh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syaikh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.
Setelah yakin bahwa Syaikh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syaikh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syaikh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.
Sejak saat itu, Syaikh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syaikh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syaikh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syaikh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syaikh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa. Syaikh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa.
Pada tahun 1280 H. (1863 M.) lahirlah putri Syaikh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syakh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288 H., Kiai Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syaikh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun. Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syaikh Kholil pun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syaikh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.
Murid-Murid
Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Syaikh Kholil. Selain itu, murid Syaikh Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Syaikh Kholil yang mudah dikenal saat ini :
• KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
• KH. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.
• KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
• KH. Bisri Syamsuri : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
• KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah.
• KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Qur’an. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
• KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
• KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
• KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
• KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
• KH. Asy’ari : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
• KH. Abi Sujak : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
• KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
• KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
• KH. Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan.
• KH Usmuni : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
• KH. Karimullah : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
• KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
• KH. Munawwir : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
• KH. Khozin : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
• KH. Nawawi : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
• KH. Abdul Hadi : Lamongan.
• KH. Zainudin : Nganjuk
• KH. Maksum : Lasem
• KH. Abdul Fatah : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fattah, Tulungagung.
• KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
• KH. Munajad : Kertosono
• KH. Romli Tamim : Rejoso Jombang
• KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang.
• KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura.
• KH. Hasbullah Abubakar Tebul, Kwayar Bangkalan Madura (Makam Kramat Pantai Kedung Cowek Surabaya)
• KH. Muhammad Thohir Jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
• KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso.
• KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat.
• KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik.
• Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, Pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.
• KH. Abdul Hamid bin Itsbat, Banyuwangi.
Karya Dan Pemikiran
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Syaikh Khalil, akan tetapi beliau meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku.
Ada pun peninggalan Syaikh Khalil diantaranya:
• Pertama, Syaikh Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah
Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Syaikh Khalil yang setelah lulus mendirikan pesantren.
• Kedua, selain Pesantren yang Syaikh Khalil tinggal di Madura –khususnya, beliau juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil beliau didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin ummat.
Syaikh Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Beliau adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Syaikh Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan beliau.
Keluarga
Ada sembilan wanita yang tercatat sebagai istri Syaikh Kholil, beberapa diantara mereka beliau nikahi setelah beberapa istri
sebelumnya meninggal dunia. Hal itu sangatlan wajar, karena Syaikh Kholil itu berumur panjang, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur lebih dari seratus tahun, maka beliaupun beberapa kali kedahuluan meninggal oleh istri dan beberapa kali menikah lagi. Itulah sebabnya Syaikh Kholil memiliki istri yang banyak. Mereka adalah:
• Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati.
• Nyai Ummu Rahma.
• Nyai Raden Ayu Arbi’ah.
• Nyai Kuttab.
• Nyai Raden Ayu Nur Jati.
• Nyai Mesi.
• Nyai Sailah.
Dari sembilan istri itu, hanya empat orang yang menurunkan keturunan Syaikh Kholil. Mereka adalah: Nyai Assek, Nyai Ummu Rahmah, Nyai Arbi’ah dan Nyai Mesi.
Putra-putri Syaikh Kholil
Dengan Nyai Assek:
-Ahmad (Meninggal masih kecil).
-Nyai Khotimah.
-KH. M. Hasan.
Dengan Nyai Ummu Rahma:
-Nyai Rahma.
Dengan Nyai Arbi’ah:
-KH. Imron.
Dengan Nyai Mesi :
-KH. Badawi.
-Nyai Asma’.
Dari keenam putra-putri itu, hanya empat yang menurunkan keturunan sampai sekarang, yaitu selain KH. M. Hasan dan KH. Badawi.
Wafat
Syaikhuna Waliyullah Muhammad Kholil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadhan 1341 H./14 Mei 1923 M. Beliau dimakamkan di Bangkalan Madura.
* Dari berbagai sumber
09/04/2014Leave a reply
K.H. Abdul Wahab Hasbullah

Latar Belakang Dan Nasab
KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888. Ayah beliau adalah Kiai Hasbullah Said, pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Kiai Hasbullah adalah putra dari Nyai Fatimah binti Abdus Salam (Kiai Sihah) yang tak lain adalah saudara kandung Nyai Layyinah binti Abdus Salam, ibu dari Nyai Halimah (ibunda Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari).
Pendidikan
Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh di lingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barzanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul.
Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Kiai Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al-Qur’an dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Abdul Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, KH. Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Di antara pesantren yang pernah disinggahi KH. Ahmad Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy‘ari.
Khusus di Pesantren Tebuireng, beliau cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, beliau menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut.
Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, beliau ke Makkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di sana seperti Syaikh Mahfudz Termas dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selain belajar agama saat di Makkah itu, beliau juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.
Peranan Dalam Bidang Sosial Dan Kebangsaan
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan ummat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdhiyyin. Beliau merupakan seorang ulama besar Indonesia yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu KH. Abdul Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada tahun 1914 M.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Beliau telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan analisis keislaman.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, KH. Abdul Wahab bersama KH. Mas Mansyur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916 M. Dari organisasi inilah KH. Abdul Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH. Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), KH. Alwi Abdul Aziz, KH. Ma’shum (Lasem) dan KH. Cholil (Kasingan Rembang).
Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 M. KH. Abdul Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara KH. Abdul Wahab menjadi sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah KH. Bisri Syansuri.
Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan muncul persoalan baru di dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dari Najed, Arab Pedalaman yang menguasai Hijaz tempat suci Makkah dikuasai tahun 1924 M dan menaklukkan Madinah 1925 M.
Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu aliran, yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah Suci itu, tidak diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di Tanah Suci. Anehnya, kelompok modernis Indonesia setuju dengan paham Wahabi.
KH. Abdul Wahab lantas membentuk Komite Khilafat beranggotakan para ulama pesantren, dengan nama Komite Hijaz atas izin KH. Hasyim Asy’ari. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.
Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar, maka dibentuklah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926. KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama Syaikh Ghonaim al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Usaha ini direspon baik oleh raja Abdul Aziz.
Beberapa hal penting hasil dari Komite Hijaz ini di antaranya adalah, makam Nabi Muhammad SAW dan situs-situs sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum boleh mengajar dan memimpin di Haramain.
Seorang Inspirator GP Ansor
Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul Wahab Hasbullah -yang kemudian menjadi pendiri NU- membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Mahfudz Siddiq, KH. Wahid Hasyim, KH. Dachlan.
Karya Dan Pemikiran
Selain ahli dalam bidang politik, KH. Abdul Wahab adalah seorang ulama tauhid dan juga fiqih yag sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan ilmunya itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip fiqih dalam kehidupan modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih siyasah.
Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah Wal Jama’ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah Waljamaah di lingkungan NU.
Dalam tiap bahtsul masail muktamar NU, beliau selalu memberikan pandangannya yang mampu menerobos berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang dihadapi ulama lain.
KH. Abdul Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat umum. Karena itu dirintis beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya. Beliau sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus sebagai penulisnya. Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat strategis dalam mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh relevansinya ketika KH. Mahfudz Siddiq dan KH. Wahd Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.
Keluarga
Pada tahun 1914 M. KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan putri Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu beliau tinggal bersama mertua di kampung Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 M bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921 M.
Setelah itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebab setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya beliau menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang selanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas. Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia.
Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama KH. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku KH. Abdul Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setelah itupun beliau menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan KH. Abdul Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.
Wafat
KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pads tanggal; 29 Desember 1971, empat hari setelah beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di Surabaya.
* Dari berbagai sumber
31/03/2014Leave a reply
Pos-pos terdahulu

Pos-pos Terbaru
Syaikh Abdul Malik KedungParuk
Al-Habib Ali bin Husein al-Aththas
Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi
Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan
K.H. Abdul Wahab Hasbullah
Komentar Terakhir
Arsip
April 2014
Maret 2014
Kategori
Tokoh Habaib
Uncategorized
Meta
Daftar
Masuk log
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com
View Full Site
Blog di WordPress.com.

Langganan:
Postingan (Atom)