Minggu, 21 Desember 2014

Pt

JASA PENGURUSAN PERIJINAN USAHA Pengurusan Perijinan PT,CV,SIUP,TDP,SBU,SIUJK,API,NPIK,IT,SKT Migas. Pendirian CV Pendirian cv atau Comanditaire Venootschap adalah bentuk usaha yang merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh para pengusaha yang ingin melakukan kegiatan usaha dengan modal yang terbatas. Karena, berbeda dengan PT yang mensyaratkan minimal modal dasar sebesar Rp. 50jt dan harus di setor ke kas Perseroan minimal 25%nya, untuk CV tidak ditentukan jumlah modal minimal. Jadi, misalnya seorang pengusaha ingin berusaha di industri rumah tangga, percetakan, biro jasa, perdagangan, catering, dll dengan modal awal yang tidak terlalu besar, dapat memilih CV sebagai alternatif Badan Usaha yang memadai.Apakah bedanya CV dengan PT? Perbedaan yang mendasar antara PT dan CV adalah, PT merupakan Badan Hukum, yang dipersamakan kedudukannya dengan orang dan mempunyai kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para pendirinya. Jadi, PT dapat bertindak keluar baik di dalam maupun di muka pengadilan sebagaimana halnya dengan orang, serta dapat memiliki harta kekayaan sendiri. Sedangkan CV, dia merupakan Badan Usaha yang tidak berbadan hukum, dan kekayaan para pendirinya tidak terpisahkan dari kekayaan CV. Karakteristik CV yang tidak dimiliki Badan Usaha lainnya adalah: CV didirikan minimal oleh dua orang, dimana salah satunya akan bertindak selaku Persero Aktif (persero pengurus) yang nantinya akan bergelar Direktur, sedangkan yang lain akan bertindak selaku Persero Komanditer (Persero diam). Seorang persero aktif akan bertindak melakukan segala tindakan pengurusan atas Perseroan; dengan demikian, dalam hal terjadi kerugian maka Persero Aktif akan bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh harta pribadinya untuk mengganti kerugian yang dituntut oleh pihak ketiga. Sedangkan untuk Persero Komanditer, karena dia hanya bertindak selaku sleeping partner, maka dia hanya bertanggung jawab sebesar modal yang disetorkannya ke dalam perseroan. Perbedaan lain yang cukup penting antara PT dengan CV adalah, dalam melakukan penyetoran modal pendirian CV, di dalam anggaran dasar tidak disebutkan pembagiannya seperti halnya PT. Jadi, para persero harus membuat kesepakatan tersendiri mengenai hal tersebut, atau membuat catatan yang terpisah. Semua itu karena memang tidak ada pemisahan kekayaan antara CV dengan kekayaan para perseronya. Syarat pendirian CV: 1) Foto copy KTP para pendiri, minimal 2 orang 2) Foto copy KK penanggung jawab / Direktur 3) Pas photo penanggung jawab ukuran 3X4 = 2 lbr berwarna 4) Copy PBB tahun terakhir sesuai domisili perusahaan 5) Copy Surat Kontrak/Sewa Kantor atau bukti kepemilikan tempat usaha 6) Surat Keterangan Domisili dari pengelola Gedung jika berdomisili di Gedung Perkantoran 7) Surat Keterangan RT / RW (jika dibutuhkan, untuk perusahaan yang berdomisili di lingkungan perumahan) Khusus luar Jakarta. 8) Kantor berada di wilayah Perkantoran/Plaza, atau Ruko, atau tidak berada di wilayah pemukiman. Untuk keterangan lebih lanjut,

Jumat, 12 Desember 2014

Komuniksi partai

Jumat, 10 Oktober 2014 12:38 inShare 2 Pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim/foto:khabarsoutheastasia.com Publicapos.com - Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang kalah dengan Koalisi Merah Putih (KMP) karena Ketua Umum PDIP tidak menjalankan komunikasi politik secara baik. "Ini akibat dari tak bekerjanya manajemen politik di sejumlah partai. Salah satu manifestasinya adalah terbengkalainya proses regenerasi di sebagian besar parpol kita, lihat saja PDIP yang masih dipimpin Megawati," kata pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim kepada publicapos, Jumat (10/10). Kata Gaffar, nama-nama di panggung kepartaian tak banyak berubah sejak dulu: Amien Rais, Megawati, Wiranto, Prabowo, Muhaimin Iskandar, Susilo Bambang Yudhoyono, Aburizal Bakrie. Kecuali Muhaimin Iskandar, mereka semua adalah politisi yang sudah sangat senior dari segi usia. Muhaimin meski masih muda juga sangat senior dari segi karier politik. "Sehebat-hebatnya para politisi ini di masa reformasi, mereka kini sudah mulai mengalami degenerasi dalam kemampuan dan idealisme politik," ungkapnya.(AHN)

Selasa, 02 Desember 2014

Protap polri 2010

KAJIAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR : Protap / 1 / X / 2010 tentang PENANGGULANGAN ANARKI SEBAGAI PENERAPAN GOOD GOVERNANCE POLRI I. PENDAHULUAN Peristiwa penggulingan rezim orde baru di tahun 1998 merupakan tonggak awal dilaksanakannya demokrasi di era reformasi. Namun dalam perkembangannya pelaksanaan demokrasi di Indonesia identik dengan adanya demonstrasi, dan hal ini diperburuk dengan demonstrasi tersebut berubah menjadi demonstrasi anarkis. Hal yang patut kita pertanyakan, apakah demontrasi anarkis merupakan senjata pamungkas untuk menyampaikan pendapat di era reformasi saat ini? Bukankah kebebasan mengemukakan pendapat sudah diatur dalam peraturan perundangan di Indonesia? Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap etika berbangsa dan bermasyarakat. Aksi-aksi kekerasan yang melibatkan seseorang, kelompok atau bahkan massa dalam jumlah yang besar mulai marak di wilayah tanah air. Masih ingatkah kita dengan peristiwa kematian ketua DPRD Sumatera Utara ABDUL AZIZ pada peristiwa demonstrasi massa yang menuntut pemekaran propinsi Tapanuli Utara, kasus kekerasan di Jalan Ampera Jakarta atau kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur? Peristiwa tersebut tentunya tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat, dan hal tersebut tentunya menjadi salah satu tanggung jawab Polri dalam upaya pencegahannya. Kejadian-kejadian tersebut membuat Polri untuk lebih waspada sehingga Kapolri pada saat itu Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010 tentang penanggulangan aksi anarki sebagai pedoman bagi seluruh anggota Polri apabila dihadapkan dengan peristiwa tersebut, sehingga Polri sudah memiliki prosedur tetap dan tidak ragu-ragu lagi dalam mengambil tindaka II. PEMBAHASAN 1. Perkap Nomor 1 tahun 2010 Sebagaimana tercantum dalam Protap Nomor 01 tahun 2010, yang dimaksud dengan anarki adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan jiwa dan atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Namun perlu digaris bawahi bahwa pelaksanaan protap ini tidak semata-mata menjadi pedoman utama karena setiap anggota Polri juga harus memperhatikan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tugas Kepolisian serta Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas Polri. Untuk menerapkan Protap tersebut, anggota Polri tetap harus dibekali dengan pelatihan-pelatihan cara menangani aksi anarkis dan sporadis sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan disalahgunakan oleh anggota Polri itu sendiri untuk berlawanan dengan masyarakat. Peraturan Kapolri tersebut didasarkan pada beberapa hal yang antara lain didasarkan pada Resolusi PBB 34/169 tanggal 7 Desember 1969 tentang Ketentuan Berperilaku (code of conduct) untuk Pejabat Penegak Hukum dan Protokol PBB Tahun 1980 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum. Hal tersebut menjadi dasar supaya Polri tidak disalahkan dalam bertindak dan dinilai oleh dunia internasional tindakan Polri sudah benar. Sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 01 tahun 2010, petugas Polri dalam melakukan penanggulangan tindakan anarki harus berpedoman kepada empat asas yaitu : a. Asas legalitas Anggota Polri dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku. b. Asas nesesitas Anggota Polri yang melakukan tindakan mesti didasari oleh suatu kebutuhan penegakan hukum c. Asas proporsionalitas Anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam menegakan hukum. d. Asas akuntabilitas anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan adanya asas tersebut, anggota Polri diharapkan dapat melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan represif sekaligus melindungi anggota Polri itu sendiri. Selain itu, asas tersebut dapat memberikan batasan-batasan tentang penggunaan kekuatan Polri dalam menghadapi aksi-aksi anarkis dan sporadis. 2. Good governance UNDP : “hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat (society)”. Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2000 : “ Kepemerintahan yang membangun dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparasi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supermasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat “. Dengan penerapan pembangunan negara yang “Good Governance” sangat diharapkan proses pengelolaan pemerintah yang demokratis, profesional, menjunjung tinggi supermasi hukum dan HAM, desentralistik, partisipatif, transparan, keadilan, bersih dan akuntable; selain berdaya guna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa. Terdapat beberapa unsur pokok sistem kepemerintahan yang baik (good governance) yaitu : - Akuntabilitas - Transparansi - Keterbukaan - Aturan hukum Apabila konsep pemerintahan yang baik tersebut dikaitkan dengan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010, Penulis berpendapat bahwa peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010 tersebut sesuai dengan konsep Good Governance. Hal ini disebabkan antara lain: - Asas legalitas dan profesionalitas yang digunakan dalam peraturan Kapolri tersebut sama dengan asas yang menjadi unsur pokok dalam sistem kepemerintahan yang baik ( Good Governance) - Peraturan Kapolri tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat ataupun anggota Polri itu sendiri, sehingga Polri tidak ada lagi keraguan dalam hal menangani tindakan-tindakan anarki sehingga Polri dapat melaksanakan tugasnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. - Dasar Peraturan Kapolri tersebut adalah Resolusi PBB 34/169 yang secara jelas mengatur tentang Hak Asasi Manusia. - Setelah Peraturan Kapolri tersebut disetujui, Kapolri segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat, tokoh-tokoh negara, kalangan akademisi sehingga Peraturan Kapolri tersebut dapat dengan segera diketahui oelh masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip Good Governance : Tranparansi.

Bnn

A. Latar Belakang Masalah Peredaran gelap narkotika dan obat-obat berbahaya atau narkoba dalam beberapa tahun terkahir perkembangannya sangat cepat dan meluas. Peredarannya bahkan sampai di kota dan di desa sampai kepada pelajar tingkat Sekolah Dasar (SD).Sementara pemberantasannya sangat sulit dilakukan karena jaringannya sangat luas, tersusun rapi, bahkan polisi pun bisa terlibat dalam jaringan narkoba. Berbagai jurus polisi untuk menjaringnarkoba sudah banyak dilakukan namun belum juga memuaskan. Saat ini kasus Narkoba di Indonesia mengalami kenaikan yang sangat signifikan serta adanya bukti bahwa saat ini Indonesia bukan hanya menjadi negara transit namun telah berubah menjadi negara konsumen, produsen, bahkan pengekspor narkoba. Berbagai keberhasilan yang telah dilakukan oleh Polri untuk mengungkap para pelaku dan pabrik-pabrik narkoba di Indonesia tidak membuat para pelaku tersebut jera justru kasus narkoba itu semakin meningkat. Berdasarkan laporan dan informasi tentang situasi dan perkembangan permasalahan narkoba, telah diketahui bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi masa depan bangsa Indonesia. Dari data statistika yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), peredaran shabu (methamphetamine) terus meningkat sejak tahun 2006, hal tersebut digambarkan dari bertambahnya jumlah kasus dan tersangka jenis shabu dan mencapai level tertinggi pada tahun 2009 (10.742 kasus dan 10.183 tersangka). Demikian pula dengan jumlah penyitaan shabu oleh Ditjen Bea dan Cukai tahun 2009 juga menunjukkan adanya peningkatan . Hasil survey BNN tahun 2009 menyimpulkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dan mahasiswa adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang. Jumlah tersebut sebanyak 61% menggunakan narkoba jenis analgesik, dan 39% menggunakan jenis ganja,amphetamine,ekstasi dan lem (Jurnal Data P4GN, 2010. [1] Pada zaman lampau , peredaran narkoba melalui perdagangan sehingga banyak beredar di sekitar pelabuhan terutama pantai utara Jawa, dan sebagian kepedalaman melalui jalur darat. Saat ini, lalu lintas narkoba baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diselundupkan oleh orang asing, melalui banyak jalur dan dengan berbagai macam modus operandi. Peredaran narkoba sangat marak di kota-kota besar seperti di tempat hiburan malam, bar, diskotik, pemukiman, dan hotel-hotel tertentu, bahkan para pelaku membuat pabrik narkoba di apartemen dan di komplek perumahan mewah untuk mengelabui petugas. Dari aspek penegakan hukum, saat ini semakin banyak pelaku yang berhasil ditangkap dan barang bukti narkoba yang berhasil disita. Hal ini menunjukkan keberhasilan pencegahan dan penegakan hukum terhadap para pelaku penyalahgunaan Narkoba namun di sisi lain hal ini dapat menimbulkan keprihatinan akibat gencarnya peredaran gelap Narkoba. Pemerintah Indonesia telah berupaya keras dalam memerangi Narkoba, hal ini ditunjukkan dengan dikeluarkannya UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkoba sebagai penyempurnaan dari UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang dinilai kurang memberikan efek jera dalam pelaksanaannya, tidak dapat mencegah tindak pidana narkoba yang meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta bentuk kejahatannya yang sudah mulai terorganisir dan masih banyak ditemukan kekurangan sehingga dapat melemahkan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku penyalahgunaan Narkoba bahkan menjadi salah satu upaya oknum penegak hukum untuk melakukan ‘kerjasama’ dengan para pelaku penyalahgunaan narkoba. Dalam pelaksanaannya sudah jelas bahwa Polri merupakan garda terdepan dalam hal pencegahan dan pemberantasan Narkoba bahkan Polri sendiri telah menempatkan Narkoba sebagai kasus yang mendapat perhatian serius atau diutamakan, namun tugas berat tersebut tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari semua element masyarakat. Narkoba adalah bahan/zat yang jika dimasukkan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikkan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis. Kebanyakan zat dalam narkoba sebenarnya digunakan untuk pengobatan dan penelitian. Tetapi karena berbagai alasan mulai dari keinginan untuk coba-coba, ikut trend/gaya, lambang status sosial, ingin melupakan persoalan, dll maka narkoba kemudian disalahgunakan. Penggunaan terus menerus dan berlanjut akan menyebabkan ketergantungan atau dependensi, disebut juga kecanduan. Kecanduan inilah yang menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada system saraf pusat dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal. Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat dari fisik, psikis maupun social seseorang. [2] PEMBAHASAN A. Bagaimana perbedaan UU No. 35 tahun 2009 sebagai penyempurnaan UU No. 22 tahun 1997. Sebagaimana diketahui bahwa UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU no. 5 tahun 1997 dinilai sudah tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan kejahatan Narkoba di Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain bahwa tindak pidana Narkoba telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operansi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. [3] Dalam UU No. 22 tahun 1997 mengatur upaya-upaya pemerintah dalam pemberantasan penyalahgunaan narkoba, di dalamnya diatur tentang ruang lingkup dan penggunaan narkotika, pengadaan narkotika untuk melakukan pelayanan kesehatan, impor dan ekspor narkotika yang berada di bawah pengawasan Menteri Kesehatan dan Menteri Perdagangan. Dari factor ketentuan pidana di dalam UU No. 22 tahun 1997 mengatur tentang ancaman hukuman terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba mulai pada hukuman penjara dalam kurun waktu tertentu, hukuman seumur hidup bahkan sampai pada hukuman mati. Di dalamnya juga diatur mengenai pengobatan dan rehabilitasi terhadap pecandu narkoba. UU No. 35 tahun 2009 dibuat oleh pemerintah sebagai penyempurnaan dari UU sebelumnya, dimana di dalam UU No. 35 tahun 2009 tersebut terdapat beberapa perubahan yang mendasar, antara lain : 1. Perubahan jenis dan golongan narkoba Dalam UU sebelumnya golongan narkoba dibagi menjadi dua bagian yang keduanya diatur dalam UU No. 22 tahun 1997 tentang nakotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam lampiran UU No. 22 tahun 1997 terdapat 26 jenis narkotika golongan I, 87 jenis narkotika golongan II, dan 14 jenis narkotika golongan III. Sedangkan dalam lampiran UU No. 35 tahun 2009 terdapat 65 jenis narkotika golongan I, 86 jenis narkotika golongan II, dan 11 jenis narkotika golongan III. Dalam lampiran tersebut dapat dilihat bahwa di dalam UU No. 35 tahun 2009 terdapat penggabungan beberapa jenis psikotropika golongan I dan II (lampiran UU No. 5 tahun 1997) ke dalam narkotika golongan I di UU No. 35 tahun 1997. Selain itu dalam UU No. 35 tahun 2009 terdapat penekanan terhadap penyalahgunaan precursor narkotika yaitu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Perkembangan tersebut dirasakan sangat sesuai dengan tren kejahatan penyalahgunaan narkoba pada saat ini. Jenis narkoba yang marak digunakan adalah jenis shabu-shabu, namun dalam UU sebelumnya shabu-shabu hanya digolongkan pada jenis psikotropika golongan II sehingga memiliki ancaman hukuman pidana yang lebih ringan. Dari segi kesehatan shabu-shabu justru memiliki dampak merusak kondisi fisik dan psikis seseorang yang lebih tinggi, bahkan di Indonesia sendiri banyak terungkap pabrik-pabrik narkoba jenis shabu-shabu yang beromzet sampai puluhan miliar rupiah. 2. Peran BNN dalam melakukan penyidikan narkotika Dalam UU No. 22 tahun 1997 dan UU No. 5 tahun 1997 pemberantasan Narkoba hanya dititikberatkan kepada Penyidik Polri dan penyidik PPNS, namun pada pasal 64 UU No. 35 tahun 2009 tercantum dibentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai upaya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta precursor narkotika, dimana BNN merupakan lembaga pemerintah non kementrian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pada UU no. 35 tahun 2009 juga disebutkan bahwa kewenangan Penyidik BNN sama dengan kewenangan Penyidik Polri. 3. Pemusnahan barang bukti narkotika Dalam UU No. 35 tahun 2009 pasal 92, diatur dengan sangat jelas perihal pemusnahan barang bukti narkotika. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pemusnahan barang bukti narkotika khususnya yang berbentuk tanaman wajib dilakukan paling lama 2 x 24 jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan dan dapat disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan pendidikan dan latihan. Dalam UU No. 22 tahun 1997 tidak dijelaskan tentang jangka waktu barang bukti narkotika harus dimusnahkan. 4. Pengobatan dan rehabilitasi. Dalam hal pengobatan pada pasal 53 UU No. 35 tahun 2009 dengan tegas menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, doker dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 55 UU No 35 tahun 2009 pasal 55 ayat (1) juga disebutkan tentang kewajiban orang tua/wali bagi pecandu narkoba yang belum cukup umur, wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rehabilitasi medis dan sebagainya untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi social. 5. Ketentuan pidana. Pada ketentuan pidana UU No. 35 tahun 2009 mengatur sebanyak 35 pasal dibandingkan UU terdahulu sebanyak 23 pasal saja. Selain itu dalam UU no 35 tahun 2009 memiliki ancaman hukuman pidana penjara yang lebih lebih berat demikian halnya dengan ancaman hukuman denda. Pokok-pokok perubahan tersebut antara lain : Adanya system pidana minimal. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melakukan pelanggaran untuk seluruh jenis / golongan narkotika. Semakin banyak barang bukti yang disita dari pelaku, maka hukuman pidana akan semakin bertambah berat. Bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika wajib mengikuti rehabilitasi medis atau rehalbilitasi social sebagaimana tercantum dalam pasal 127 ayat (3) UU no. 35 tahun 2009. Adanya sanksi pidana bagi orang tua/wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak melaporkan kepada aparat yang berwenang berupa kurungan selama 6 bulan atau denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Adanya ancaman hukuman bagi penyidik Polri/BNN atau PPNS yang tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan. B. Peran dan fungsi Polri dalam pencegahan narkoba. Peran dan fungsi Polri dalam pencegahan narkoba tidak hanya dititik beratkan kepada penegakan hukum tetapi juga kepada pencegahan penyalahgunaan narkoba. Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah seluruh usaha yang ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkoba. Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang permintaan (demand) dan persediaan (supply), selama permintaan itu masih ada,persediaan akan selalu ada, dan apabila permintaan itu berhenti atau berkurang, persediaan akan berkurang, termasuk pasarnya. [4] Dalam konsep penegakan hukum oleh Polri tentunya tidak terlepas dari terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti tercantum dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri, Kamtibmas didefinisikan sebagai : “suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.” Dengan demikian sangatlah jelas bahwa penegakan hukum merupakan salah satu bagian dari tugas tersebut. Penjelasan tersebut juga menegaskan kembali apa yang sebenarnya menjadi tugas kepolisian, yaitu tugas preventif atau melakukan pencegahan terhadap pelanggaran dan kejahatan atau juga memelihara ketertiban (order maintenance) dan tugas represif yaitu melakukan penegakan hukum (law enforcement). 1. Fungsi Penegakan Hukum Dalam hal penegakan hukum, tidak terlepas dari kegiatan penyelidikan dan penyidikan kasus narkoba. Seperti diketahui kasus narkoba merupakan kasus yang khas dimana kasus narkoba merupakan kasus yang tidak ada “laporan polisi”, hanya berdasarkan informasi maupun laporan dari masyarakat yang ditindak lanjuti oleh Polri. Dalam penanganan kasus narkoba, selain berpedoman kepada KUHAP dan UU Narkotika, fungsi diskresi juga sangat diperlukan. Namun dalam prakteknya banyak anggota Polri yang tidak memahami arti diskresi secara benar sehingga diskresi sering menjadi dalih atas ketidakmampuan anggota Polri dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Diskresi adalah “wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri” ( Walker,1983:54 dalam Barker,1994 )[5] Wacana tersebut ditegaskan dalam pasal 16 huruf ( l )dan pasal 18 UU No. 2 tahun 2002 yaitu : Pasal 16 : ( huruf l ) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Kewenangan tersebut diatur dalam KUHAP Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan pasal 7 ayat (1) huruf j : yang dimaksud “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat : - Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. - Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan - Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. - Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa - Menghormati hak asasi manusia. Pasal 18 Ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman oleh setiap anggota Polri adalah UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya dalam pasal 13 tentang Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu : memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum , memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 35 tahun 2009 pasal 75, Penyidik berwenang untuk : Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya Mengambil sidik jari dan memotret tersangka Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dari uraian di atas menunjukkan beratnya tanggung jawab Polri dalam menegakkan hukum, hal ini dikarenakan di satu sisi Polri harus menjunjung asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma penegakan supremasi hukum sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun tindakan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika juga harus tetap dilaksanakan melalui pola-pola preventif demi terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. 2. Fungsi preventif Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah seluruh usaha yang ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkoba. Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang permintaan ( demand) dan persediaan ( supply ), selama permintaan itu ada, persediaan akan selalu ada, dan apabila permintaan itu berkurang atau berhenti, persediaan akan berkurang termasuk pasarnya. [6] Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang sangat kompleks yang secara umum disebabkan oleh 3 ( tiga ) faktor yaitu : factor individu, factor lingkungan dan factor ketersediaan, menunjukkan bahwa pencegahan penyalahgunaan narkoba yang efektif memerlukan pendekatan secara terpadu dan komprehensif. Oleh karena itu peranan semua pihak termasuk para orang tua, guru, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat dsb sangatlah penting. [7] Peranan Polri menjadi sangat besar dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba, hal ini disebabkan Polri memiliki fungsi Bhabinkamtibmas yang menjadi ujung tombak terjalinnya komunikasi antara Polri dengan masyarakat sehingga Bhabinkamtibmas dapat membimbing masyarakat bagi terciptanya lingkungan yang menguntungkan upaya penertiban dan penegakan hukum, upaya perlindungan dan pelayanan masyarakat di desa/ kelurahan. Peranan tersebut antara lain : a. Sebagai motivator Bhabinkamtibmas dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap kesadaran hukum dan keamanan lingkungan agar tidak menjadi korban atau pelaku kejahatan penyalahgunaan narkoba. Selain itu Bhabinkamtibmas diharapkan mampu mendorong, mengarahkan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayah tugasnya untuk berperan serta mencegah timbulnya gangguan Kamtibmas termasuk penyalahgunaan Narkoba.[8] b. Sebagai Pembina kader Bhabinkamtibmas dapat membangun kemitraan dengan masyarakat yang berperan aktif dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas yang diemban oleh Bhabinkamtibmas. Mampu mengajak partisipasi para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam menanggulangi munculnya kasus penyalahgunaan narkoba di wilayahnya.[9] c. Sebagai fasilitator Memfasilitasi para kader dan para tokoh masyarakat serta menjadi mediator dalam hal menyelesaikan masalah-masalah penyalahgunaan narkoba yang timbul di wilayah tugasnya.

Narkoba

Home Profil + Fungsi Operasional + Fungsi Pembinaan + Kewilayahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Barat Melindungi dan Mengayomi Masyarakat Kapolda Jawa Barat Drs.MOCHAMAD IRIAWAN,SH,MM,MH Inspektur Jenderal Polisi Lihat Profil Pelayanan + Arsip Berita Artikel Situasi + Pengumuman + Aplikasi + Kontak Dit Res Narkoba Adalah unsur pelaksana utama Polda yang bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Narkoba termasuk penyuluhan dan pembinaan dalam rangka P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba). Struktur organisasi Direktorat Narkoba terdiri dari : Subbag Perencanaan dan Administrasi. Bagian Analisis Satuan Pembinaan dan Penyuluhan. Satuan Operasional Narkoba. Pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Narkoba dilaksanakan oleh satuan operasional Narkoba dengan kerangka kerja adalah sebagai berikut : Penyelidikan Penyelidikan yang dilakukan oleh petugas banyak dibantu oleh masyarakat dengan dasar informasi yang telah diberikan oleh masyarakat kepada petugas. Dalam memberikan informasi, masyarakat tidak perlu takut karena setiap masyarakat yang memberikan informasi wajib untuk dilindungi keamanan dan perlindungan oleh petugas (dasar pasal 54 UU RI No. 5 tahun 1997 dan pasal 57 UU RI No. 22 tahun 1997). Penyidikan Dalam penyidikan tindak pidana Narkoba peran serta masyarakat pun sangat diperlukan, sebagai contoh sering dalam proses penindakan suatu tindak pidana Narkoba, petugas selalu meminta bantuan dari masyarakat untuk menyaksikan setiap langkah yang diambil untuk dapat menangkap para tersangka dan menemukan barang bukti yang disembunyikan oleh para tersangka disuatu tempat(diatur dalam KUHAP pasal 33). Hal ini dilakukan dengan tujuan apa yang dilakukan oleh petugas adalah benar-benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dibenarkan dengan dasar kesaksian dari masyarakat yang menyaksikan. Pelaksanaan fungsi pembinaan / penyuluhan dalam rangka pencegahan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba dilaksanakan oleh satuan Pembinaan dan Penyuluhan.