Minggu, 21 Desember 2014

Pt

JASA PENGURUSAN PERIJINAN USAHA Pengurusan Perijinan PT,CV,SIUP,TDP,SBU,SIUJK,API,NPIK,IT,SKT Migas. Pendirian CV Pendirian cv atau Comanditaire Venootschap adalah bentuk usaha yang merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh para pengusaha yang ingin melakukan kegiatan usaha dengan modal yang terbatas. Karena, berbeda dengan PT yang mensyaratkan minimal modal dasar sebesar Rp. 50jt dan harus di setor ke kas Perseroan minimal 25%nya, untuk CV tidak ditentukan jumlah modal minimal. Jadi, misalnya seorang pengusaha ingin berusaha di industri rumah tangga, percetakan, biro jasa, perdagangan, catering, dll dengan modal awal yang tidak terlalu besar, dapat memilih CV sebagai alternatif Badan Usaha yang memadai.Apakah bedanya CV dengan PT? Perbedaan yang mendasar antara PT dan CV adalah, PT merupakan Badan Hukum, yang dipersamakan kedudukannya dengan orang dan mempunyai kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para pendirinya. Jadi, PT dapat bertindak keluar baik di dalam maupun di muka pengadilan sebagaimana halnya dengan orang, serta dapat memiliki harta kekayaan sendiri. Sedangkan CV, dia merupakan Badan Usaha yang tidak berbadan hukum, dan kekayaan para pendirinya tidak terpisahkan dari kekayaan CV. Karakteristik CV yang tidak dimiliki Badan Usaha lainnya adalah: CV didirikan minimal oleh dua orang, dimana salah satunya akan bertindak selaku Persero Aktif (persero pengurus) yang nantinya akan bergelar Direktur, sedangkan yang lain akan bertindak selaku Persero Komanditer (Persero diam). Seorang persero aktif akan bertindak melakukan segala tindakan pengurusan atas Perseroan; dengan demikian, dalam hal terjadi kerugian maka Persero Aktif akan bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh harta pribadinya untuk mengganti kerugian yang dituntut oleh pihak ketiga. Sedangkan untuk Persero Komanditer, karena dia hanya bertindak selaku sleeping partner, maka dia hanya bertanggung jawab sebesar modal yang disetorkannya ke dalam perseroan. Perbedaan lain yang cukup penting antara PT dengan CV adalah, dalam melakukan penyetoran modal pendirian CV, di dalam anggaran dasar tidak disebutkan pembagiannya seperti halnya PT. Jadi, para persero harus membuat kesepakatan tersendiri mengenai hal tersebut, atau membuat catatan yang terpisah. Semua itu karena memang tidak ada pemisahan kekayaan antara CV dengan kekayaan para perseronya. Syarat pendirian CV: 1) Foto copy KTP para pendiri, minimal 2 orang 2) Foto copy KK penanggung jawab / Direktur 3) Pas photo penanggung jawab ukuran 3X4 = 2 lbr berwarna 4) Copy PBB tahun terakhir sesuai domisili perusahaan 5) Copy Surat Kontrak/Sewa Kantor atau bukti kepemilikan tempat usaha 6) Surat Keterangan Domisili dari pengelola Gedung jika berdomisili di Gedung Perkantoran 7) Surat Keterangan RT / RW (jika dibutuhkan, untuk perusahaan yang berdomisili di lingkungan perumahan) Khusus luar Jakarta. 8) Kantor berada di wilayah Perkantoran/Plaza, atau Ruko, atau tidak berada di wilayah pemukiman. Untuk keterangan lebih lanjut,

Jumat, 12 Desember 2014

Komuniksi partai

Jumat, 10 Oktober 2014 12:38 inShare 2 Pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim/foto:khabarsoutheastasia.com Publicapos.com - Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang kalah dengan Koalisi Merah Putih (KMP) karena Ketua Umum PDIP tidak menjalankan komunikasi politik secara baik. "Ini akibat dari tak bekerjanya manajemen politik di sejumlah partai. Salah satu manifestasinya adalah terbengkalainya proses regenerasi di sebagian besar parpol kita, lihat saja PDIP yang masih dipimpin Megawati," kata pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim kepada publicapos, Jumat (10/10). Kata Gaffar, nama-nama di panggung kepartaian tak banyak berubah sejak dulu: Amien Rais, Megawati, Wiranto, Prabowo, Muhaimin Iskandar, Susilo Bambang Yudhoyono, Aburizal Bakrie. Kecuali Muhaimin Iskandar, mereka semua adalah politisi yang sudah sangat senior dari segi usia. Muhaimin meski masih muda juga sangat senior dari segi karier politik. "Sehebat-hebatnya para politisi ini di masa reformasi, mereka kini sudah mulai mengalami degenerasi dalam kemampuan dan idealisme politik," ungkapnya.(AHN)

Selasa, 02 Desember 2014

Protap polri 2010

KAJIAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR : Protap / 1 / X / 2010 tentang PENANGGULANGAN ANARKI SEBAGAI PENERAPAN GOOD GOVERNANCE POLRI I. PENDAHULUAN Peristiwa penggulingan rezim orde baru di tahun 1998 merupakan tonggak awal dilaksanakannya demokrasi di era reformasi. Namun dalam perkembangannya pelaksanaan demokrasi di Indonesia identik dengan adanya demonstrasi, dan hal ini diperburuk dengan demonstrasi tersebut berubah menjadi demonstrasi anarkis. Hal yang patut kita pertanyakan, apakah demontrasi anarkis merupakan senjata pamungkas untuk menyampaikan pendapat di era reformasi saat ini? Bukankah kebebasan mengemukakan pendapat sudah diatur dalam peraturan perundangan di Indonesia? Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap etika berbangsa dan bermasyarakat. Aksi-aksi kekerasan yang melibatkan seseorang, kelompok atau bahkan massa dalam jumlah yang besar mulai marak di wilayah tanah air. Masih ingatkah kita dengan peristiwa kematian ketua DPRD Sumatera Utara ABDUL AZIZ pada peristiwa demonstrasi massa yang menuntut pemekaran propinsi Tapanuli Utara, kasus kekerasan di Jalan Ampera Jakarta atau kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur? Peristiwa tersebut tentunya tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat, dan hal tersebut tentunya menjadi salah satu tanggung jawab Polri dalam upaya pencegahannya. Kejadian-kejadian tersebut membuat Polri untuk lebih waspada sehingga Kapolri pada saat itu Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010 tentang penanggulangan aksi anarki sebagai pedoman bagi seluruh anggota Polri apabila dihadapkan dengan peristiwa tersebut, sehingga Polri sudah memiliki prosedur tetap dan tidak ragu-ragu lagi dalam mengambil tindaka II. PEMBAHASAN 1. Perkap Nomor 1 tahun 2010 Sebagaimana tercantum dalam Protap Nomor 01 tahun 2010, yang dimaksud dengan anarki adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan jiwa dan atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Namun perlu digaris bawahi bahwa pelaksanaan protap ini tidak semata-mata menjadi pedoman utama karena setiap anggota Polri juga harus memperhatikan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tugas Kepolisian serta Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas Polri. Untuk menerapkan Protap tersebut, anggota Polri tetap harus dibekali dengan pelatihan-pelatihan cara menangani aksi anarkis dan sporadis sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan disalahgunakan oleh anggota Polri itu sendiri untuk berlawanan dengan masyarakat. Peraturan Kapolri tersebut didasarkan pada beberapa hal yang antara lain didasarkan pada Resolusi PBB 34/169 tanggal 7 Desember 1969 tentang Ketentuan Berperilaku (code of conduct) untuk Pejabat Penegak Hukum dan Protokol PBB Tahun 1980 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum. Hal tersebut menjadi dasar supaya Polri tidak disalahkan dalam bertindak dan dinilai oleh dunia internasional tindakan Polri sudah benar. Sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 01 tahun 2010, petugas Polri dalam melakukan penanggulangan tindakan anarki harus berpedoman kepada empat asas yaitu : a. Asas legalitas Anggota Polri dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku. b. Asas nesesitas Anggota Polri yang melakukan tindakan mesti didasari oleh suatu kebutuhan penegakan hukum c. Asas proporsionalitas Anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam menegakan hukum. d. Asas akuntabilitas anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan adanya asas tersebut, anggota Polri diharapkan dapat melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan represif sekaligus melindungi anggota Polri itu sendiri. Selain itu, asas tersebut dapat memberikan batasan-batasan tentang penggunaan kekuatan Polri dalam menghadapi aksi-aksi anarkis dan sporadis. 2. Good governance UNDP : “hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat (society)”. Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2000 : “ Kepemerintahan yang membangun dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparasi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supermasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat “. Dengan penerapan pembangunan negara yang “Good Governance” sangat diharapkan proses pengelolaan pemerintah yang demokratis, profesional, menjunjung tinggi supermasi hukum dan HAM, desentralistik, partisipatif, transparan, keadilan, bersih dan akuntable; selain berdaya guna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa. Terdapat beberapa unsur pokok sistem kepemerintahan yang baik (good governance) yaitu : - Akuntabilitas - Transparansi - Keterbukaan - Aturan hukum Apabila konsep pemerintahan yang baik tersebut dikaitkan dengan Peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010, Penulis berpendapat bahwa peraturan Kapolri Nomor 01 tahun 2010 tersebut sesuai dengan konsep Good Governance. Hal ini disebabkan antara lain: - Asas legalitas dan profesionalitas yang digunakan dalam peraturan Kapolri tersebut sama dengan asas yang menjadi unsur pokok dalam sistem kepemerintahan yang baik ( Good Governance) - Peraturan Kapolri tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat ataupun anggota Polri itu sendiri, sehingga Polri tidak ada lagi keraguan dalam hal menangani tindakan-tindakan anarki sehingga Polri dapat melaksanakan tugasnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. - Dasar Peraturan Kapolri tersebut adalah Resolusi PBB 34/169 yang secara jelas mengatur tentang Hak Asasi Manusia. - Setelah Peraturan Kapolri tersebut disetujui, Kapolri segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat, tokoh-tokoh negara, kalangan akademisi sehingga Peraturan Kapolri tersebut dapat dengan segera diketahui oelh masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip Good Governance : Tranparansi.

Bnn

A. Latar Belakang Masalah Peredaran gelap narkotika dan obat-obat berbahaya atau narkoba dalam beberapa tahun terkahir perkembangannya sangat cepat dan meluas. Peredarannya bahkan sampai di kota dan di desa sampai kepada pelajar tingkat Sekolah Dasar (SD).Sementara pemberantasannya sangat sulit dilakukan karena jaringannya sangat luas, tersusun rapi, bahkan polisi pun bisa terlibat dalam jaringan narkoba. Berbagai jurus polisi untuk menjaringnarkoba sudah banyak dilakukan namun belum juga memuaskan. Saat ini kasus Narkoba di Indonesia mengalami kenaikan yang sangat signifikan serta adanya bukti bahwa saat ini Indonesia bukan hanya menjadi negara transit namun telah berubah menjadi negara konsumen, produsen, bahkan pengekspor narkoba. Berbagai keberhasilan yang telah dilakukan oleh Polri untuk mengungkap para pelaku dan pabrik-pabrik narkoba di Indonesia tidak membuat para pelaku tersebut jera justru kasus narkoba itu semakin meningkat. Berdasarkan laporan dan informasi tentang situasi dan perkembangan permasalahan narkoba, telah diketahui bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi masa depan bangsa Indonesia. Dari data statistika yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), peredaran shabu (methamphetamine) terus meningkat sejak tahun 2006, hal tersebut digambarkan dari bertambahnya jumlah kasus dan tersangka jenis shabu dan mencapai level tertinggi pada tahun 2009 (10.742 kasus dan 10.183 tersangka). Demikian pula dengan jumlah penyitaan shabu oleh Ditjen Bea dan Cukai tahun 2009 juga menunjukkan adanya peningkatan . Hasil survey BNN tahun 2009 menyimpulkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dan mahasiswa adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang. Jumlah tersebut sebanyak 61% menggunakan narkoba jenis analgesik, dan 39% menggunakan jenis ganja,amphetamine,ekstasi dan lem (Jurnal Data P4GN, 2010. [1] Pada zaman lampau , peredaran narkoba melalui perdagangan sehingga banyak beredar di sekitar pelabuhan terutama pantai utara Jawa, dan sebagian kepedalaman melalui jalur darat. Saat ini, lalu lintas narkoba baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diselundupkan oleh orang asing, melalui banyak jalur dan dengan berbagai macam modus operandi. Peredaran narkoba sangat marak di kota-kota besar seperti di tempat hiburan malam, bar, diskotik, pemukiman, dan hotel-hotel tertentu, bahkan para pelaku membuat pabrik narkoba di apartemen dan di komplek perumahan mewah untuk mengelabui petugas. Dari aspek penegakan hukum, saat ini semakin banyak pelaku yang berhasil ditangkap dan barang bukti narkoba yang berhasil disita. Hal ini menunjukkan keberhasilan pencegahan dan penegakan hukum terhadap para pelaku penyalahgunaan Narkoba namun di sisi lain hal ini dapat menimbulkan keprihatinan akibat gencarnya peredaran gelap Narkoba. Pemerintah Indonesia telah berupaya keras dalam memerangi Narkoba, hal ini ditunjukkan dengan dikeluarkannya UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkoba sebagai penyempurnaan dari UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang dinilai kurang memberikan efek jera dalam pelaksanaannya, tidak dapat mencegah tindak pidana narkoba yang meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta bentuk kejahatannya yang sudah mulai terorganisir dan masih banyak ditemukan kekurangan sehingga dapat melemahkan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku penyalahgunaan Narkoba bahkan menjadi salah satu upaya oknum penegak hukum untuk melakukan ‘kerjasama’ dengan para pelaku penyalahgunaan narkoba. Dalam pelaksanaannya sudah jelas bahwa Polri merupakan garda terdepan dalam hal pencegahan dan pemberantasan Narkoba bahkan Polri sendiri telah menempatkan Narkoba sebagai kasus yang mendapat perhatian serius atau diutamakan, namun tugas berat tersebut tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari semua element masyarakat. Narkoba adalah bahan/zat yang jika dimasukkan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikkan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis. Kebanyakan zat dalam narkoba sebenarnya digunakan untuk pengobatan dan penelitian. Tetapi karena berbagai alasan mulai dari keinginan untuk coba-coba, ikut trend/gaya, lambang status sosial, ingin melupakan persoalan, dll maka narkoba kemudian disalahgunakan. Penggunaan terus menerus dan berlanjut akan menyebabkan ketergantungan atau dependensi, disebut juga kecanduan. Kecanduan inilah yang menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada system saraf pusat dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal. Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat dari fisik, psikis maupun social seseorang. [2] PEMBAHASAN A. Bagaimana perbedaan UU No. 35 tahun 2009 sebagai penyempurnaan UU No. 22 tahun 1997. Sebagaimana diketahui bahwa UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU no. 5 tahun 1997 dinilai sudah tidak relevan lagi dengan dinamika perkembangan kejahatan Narkoba di Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain bahwa tindak pidana Narkoba telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operansi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. [3] Dalam UU No. 22 tahun 1997 mengatur upaya-upaya pemerintah dalam pemberantasan penyalahgunaan narkoba, di dalamnya diatur tentang ruang lingkup dan penggunaan narkotika, pengadaan narkotika untuk melakukan pelayanan kesehatan, impor dan ekspor narkotika yang berada di bawah pengawasan Menteri Kesehatan dan Menteri Perdagangan. Dari factor ketentuan pidana di dalam UU No. 22 tahun 1997 mengatur tentang ancaman hukuman terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba mulai pada hukuman penjara dalam kurun waktu tertentu, hukuman seumur hidup bahkan sampai pada hukuman mati. Di dalamnya juga diatur mengenai pengobatan dan rehabilitasi terhadap pecandu narkoba. UU No. 35 tahun 2009 dibuat oleh pemerintah sebagai penyempurnaan dari UU sebelumnya, dimana di dalam UU No. 35 tahun 2009 tersebut terdapat beberapa perubahan yang mendasar, antara lain : 1. Perubahan jenis dan golongan narkoba Dalam UU sebelumnya golongan narkoba dibagi menjadi dua bagian yang keduanya diatur dalam UU No. 22 tahun 1997 tentang nakotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam lampiran UU No. 22 tahun 1997 terdapat 26 jenis narkotika golongan I, 87 jenis narkotika golongan II, dan 14 jenis narkotika golongan III. Sedangkan dalam lampiran UU No. 35 tahun 2009 terdapat 65 jenis narkotika golongan I, 86 jenis narkotika golongan II, dan 11 jenis narkotika golongan III. Dalam lampiran tersebut dapat dilihat bahwa di dalam UU No. 35 tahun 2009 terdapat penggabungan beberapa jenis psikotropika golongan I dan II (lampiran UU No. 5 tahun 1997) ke dalam narkotika golongan I di UU No. 35 tahun 1997. Selain itu dalam UU No. 35 tahun 2009 terdapat penekanan terhadap penyalahgunaan precursor narkotika yaitu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Perkembangan tersebut dirasakan sangat sesuai dengan tren kejahatan penyalahgunaan narkoba pada saat ini. Jenis narkoba yang marak digunakan adalah jenis shabu-shabu, namun dalam UU sebelumnya shabu-shabu hanya digolongkan pada jenis psikotropika golongan II sehingga memiliki ancaman hukuman pidana yang lebih ringan. Dari segi kesehatan shabu-shabu justru memiliki dampak merusak kondisi fisik dan psikis seseorang yang lebih tinggi, bahkan di Indonesia sendiri banyak terungkap pabrik-pabrik narkoba jenis shabu-shabu yang beromzet sampai puluhan miliar rupiah. 2. Peran BNN dalam melakukan penyidikan narkotika Dalam UU No. 22 tahun 1997 dan UU No. 5 tahun 1997 pemberantasan Narkoba hanya dititikberatkan kepada Penyidik Polri dan penyidik PPNS, namun pada pasal 64 UU No. 35 tahun 2009 tercantum dibentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai upaya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta precursor narkotika, dimana BNN merupakan lembaga pemerintah non kementrian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pada UU no. 35 tahun 2009 juga disebutkan bahwa kewenangan Penyidik BNN sama dengan kewenangan Penyidik Polri. 3. Pemusnahan barang bukti narkotika Dalam UU No. 35 tahun 2009 pasal 92, diatur dengan sangat jelas perihal pemusnahan barang bukti narkotika. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pemusnahan barang bukti narkotika khususnya yang berbentuk tanaman wajib dilakukan paling lama 2 x 24 jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan dan dapat disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan pendidikan dan latihan. Dalam UU No. 22 tahun 1997 tidak dijelaskan tentang jangka waktu barang bukti narkotika harus dimusnahkan. 4. Pengobatan dan rehabilitasi. Dalam hal pengobatan pada pasal 53 UU No. 35 tahun 2009 dengan tegas menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, doker dapat memberikan narkotika golongan II atau golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 55 UU No 35 tahun 2009 pasal 55 ayat (1) juga disebutkan tentang kewajiban orang tua/wali bagi pecandu narkoba yang belum cukup umur, wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rehabilitasi medis dan sebagainya untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi social. 5. Ketentuan pidana. Pada ketentuan pidana UU No. 35 tahun 2009 mengatur sebanyak 35 pasal dibandingkan UU terdahulu sebanyak 23 pasal saja. Selain itu dalam UU no 35 tahun 2009 memiliki ancaman hukuman pidana penjara yang lebih lebih berat demikian halnya dengan ancaman hukuman denda. Pokok-pokok perubahan tersebut antara lain : Adanya system pidana minimal. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melakukan pelanggaran untuk seluruh jenis / golongan narkotika. Semakin banyak barang bukti yang disita dari pelaku, maka hukuman pidana akan semakin bertambah berat. Bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika wajib mengikuti rehabilitasi medis atau rehalbilitasi social sebagaimana tercantum dalam pasal 127 ayat (3) UU no. 35 tahun 2009. Adanya sanksi pidana bagi orang tua/wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak melaporkan kepada aparat yang berwenang berupa kurungan selama 6 bulan atau denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Adanya ancaman hukuman bagi penyidik Polri/BNN atau PPNS yang tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan. B. Peran dan fungsi Polri dalam pencegahan narkoba. Peran dan fungsi Polri dalam pencegahan narkoba tidak hanya dititik beratkan kepada penegakan hukum tetapi juga kepada pencegahan penyalahgunaan narkoba. Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah seluruh usaha yang ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkoba. Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang permintaan (demand) dan persediaan (supply), selama permintaan itu masih ada,persediaan akan selalu ada, dan apabila permintaan itu berhenti atau berkurang, persediaan akan berkurang, termasuk pasarnya. [4] Dalam konsep penegakan hukum oleh Polri tentunya tidak terlepas dari terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti tercantum dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri, Kamtibmas didefinisikan sebagai : “suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.” Dengan demikian sangatlah jelas bahwa penegakan hukum merupakan salah satu bagian dari tugas tersebut. Penjelasan tersebut juga menegaskan kembali apa yang sebenarnya menjadi tugas kepolisian, yaitu tugas preventif atau melakukan pencegahan terhadap pelanggaran dan kejahatan atau juga memelihara ketertiban (order maintenance) dan tugas represif yaitu melakukan penegakan hukum (law enforcement). 1. Fungsi Penegakan Hukum Dalam hal penegakan hukum, tidak terlepas dari kegiatan penyelidikan dan penyidikan kasus narkoba. Seperti diketahui kasus narkoba merupakan kasus yang khas dimana kasus narkoba merupakan kasus yang tidak ada “laporan polisi”, hanya berdasarkan informasi maupun laporan dari masyarakat yang ditindak lanjuti oleh Polri. Dalam penanganan kasus narkoba, selain berpedoman kepada KUHAP dan UU Narkotika, fungsi diskresi juga sangat diperlukan. Namun dalam prakteknya banyak anggota Polri yang tidak memahami arti diskresi secara benar sehingga diskresi sering menjadi dalih atas ketidakmampuan anggota Polri dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Diskresi adalah “wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri” ( Walker,1983:54 dalam Barker,1994 )[5] Wacana tersebut ditegaskan dalam pasal 16 huruf ( l )dan pasal 18 UU No. 2 tahun 2002 yaitu : Pasal 16 : ( huruf l ) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Kewenangan tersebut diatur dalam KUHAP Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan pasal 7 ayat (1) huruf j : yang dimaksud “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat : - Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. - Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan - Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. - Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa - Menghormati hak asasi manusia. Pasal 18 Ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman oleh setiap anggota Polri adalah UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya dalam pasal 13 tentang Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu : memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum , memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 35 tahun 2009 pasal 75, Penyidik berwenang untuk : Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya Mengambil sidik jari dan memotret tersangka Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dari uraian di atas menunjukkan beratnya tanggung jawab Polri dalam menegakkan hukum, hal ini dikarenakan di satu sisi Polri harus menjunjung asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma penegakan supremasi hukum sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun tindakan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika juga harus tetap dilaksanakan melalui pola-pola preventif demi terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. 2. Fungsi preventif Pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah seluruh usaha yang ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkoba. Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang permintaan ( demand) dan persediaan ( supply ), selama permintaan itu ada, persediaan akan selalu ada, dan apabila permintaan itu berkurang atau berhenti, persediaan akan berkurang termasuk pasarnya. [6] Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang sangat kompleks yang secara umum disebabkan oleh 3 ( tiga ) faktor yaitu : factor individu, factor lingkungan dan factor ketersediaan, menunjukkan bahwa pencegahan penyalahgunaan narkoba yang efektif memerlukan pendekatan secara terpadu dan komprehensif. Oleh karena itu peranan semua pihak termasuk para orang tua, guru, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat dsb sangatlah penting. [7] Peranan Polri menjadi sangat besar dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba, hal ini disebabkan Polri memiliki fungsi Bhabinkamtibmas yang menjadi ujung tombak terjalinnya komunikasi antara Polri dengan masyarakat sehingga Bhabinkamtibmas dapat membimbing masyarakat bagi terciptanya lingkungan yang menguntungkan upaya penertiban dan penegakan hukum, upaya perlindungan dan pelayanan masyarakat di desa/ kelurahan. Peranan tersebut antara lain : a. Sebagai motivator Bhabinkamtibmas dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap kesadaran hukum dan keamanan lingkungan agar tidak menjadi korban atau pelaku kejahatan penyalahgunaan narkoba. Selain itu Bhabinkamtibmas diharapkan mampu mendorong, mengarahkan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayah tugasnya untuk berperan serta mencegah timbulnya gangguan Kamtibmas termasuk penyalahgunaan Narkoba.[8] b. Sebagai Pembina kader Bhabinkamtibmas dapat membangun kemitraan dengan masyarakat yang berperan aktif dalam mendukung pelaksanaan tugas-tugas yang diemban oleh Bhabinkamtibmas. Mampu mengajak partisipasi para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam menanggulangi munculnya kasus penyalahgunaan narkoba di wilayahnya.[9] c. Sebagai fasilitator Memfasilitasi para kader dan para tokoh masyarakat serta menjadi mediator dalam hal menyelesaikan masalah-masalah penyalahgunaan narkoba yang timbul di wilayah tugasnya.

Narkoba

Home Profil + Fungsi Operasional + Fungsi Pembinaan + Kewilayahan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Barat Melindungi dan Mengayomi Masyarakat Kapolda Jawa Barat Drs.MOCHAMAD IRIAWAN,SH,MM,MH Inspektur Jenderal Polisi Lihat Profil Pelayanan + Arsip Berita Artikel Situasi + Pengumuman + Aplikasi + Kontak Dit Res Narkoba Adalah unsur pelaksana utama Polda yang bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Narkoba termasuk penyuluhan dan pembinaan dalam rangka P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba). Struktur organisasi Direktorat Narkoba terdiri dari : Subbag Perencanaan dan Administrasi. Bagian Analisis Satuan Pembinaan dan Penyuluhan. Satuan Operasional Narkoba. Pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Narkoba dilaksanakan oleh satuan operasional Narkoba dengan kerangka kerja adalah sebagai berikut : Penyelidikan Penyelidikan yang dilakukan oleh petugas banyak dibantu oleh masyarakat dengan dasar informasi yang telah diberikan oleh masyarakat kepada petugas. Dalam memberikan informasi, masyarakat tidak perlu takut karena setiap masyarakat yang memberikan informasi wajib untuk dilindungi keamanan dan perlindungan oleh petugas (dasar pasal 54 UU RI No. 5 tahun 1997 dan pasal 57 UU RI No. 22 tahun 1997). Penyidikan Dalam penyidikan tindak pidana Narkoba peran serta masyarakat pun sangat diperlukan, sebagai contoh sering dalam proses penindakan suatu tindak pidana Narkoba, petugas selalu meminta bantuan dari masyarakat untuk menyaksikan setiap langkah yang diambil untuk dapat menangkap para tersangka dan menemukan barang bukti yang disembunyikan oleh para tersangka disuatu tempat(diatur dalam KUHAP pasal 33). Hal ini dilakukan dengan tujuan apa yang dilakukan oleh petugas adalah benar-benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dibenarkan dengan dasar kesaksian dari masyarakat yang menyaksikan. Pelaksanaan fungsi pembinaan / penyuluhan dalam rangka pencegahan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba dilaksanakan oleh satuan Pembinaan dan Penyuluhan.

Rabu, 26 November 2014

Kunjungan DPR-RI

Bagian Humas Sekretariat Jendral DPR RI adalah bagian yang diberi tugas untuk menerima kunjungan masyarakatBaikmasyarakat yang berasal dari kalangan mahasiswapelajarDPRD maupun masyarakat pada umumnya.Bagian Humas SekretariatJenderal DPR RI terbagi atas dua sub bagianyakni Sub Bagian Penerangan dan Sub Bagian Penyaluran Delegasi Masyarakat(PDM).
Masyarakat yang berkunjung untuk tujuan studi wisata dan masyarakat yang ingin mengambil foto kenangan di Gedung DPR akanditerima oleh Humas Sub Bagian Penerangan.  Kunjungan yang berupa studi wisata akan diterima di ruang Operation Room,Gedung Nusantarasebelumnya akan diputarkan Film Edukasi mengenai DPR sebagai pembuka acara selanjutnya akan diberipenjelasan mengenai Mekanisme Kerja Dewan Perwakilan RakyatDiakhir acara akan ada diskusi dengan masyarakat.Masyarakat yang biasanya datang untuk melakukan studi wisata ini berasal dari sekolah dan perguruan tinggi  (SD, SMPSMA,Mahasiswadan instansi lain seperti kelompok karang tarunadll.
Setelah acara dioperation room selesai masyarakat akan dipandu untuk keliling gedung DPR RI (tour building) khususnya keMuseum DPR RI dan Ruang Sidang Paripurna.  Selama melakukan tour building masyarakat diberikan penjelasan tentang sejarahDPR RI, sejarah gedung dan arti hiasan – hiasan / ornamen yang terdapat pada gedung DPR RI.
Sedangkan masyarakat yang datang berkunjung ke DPR RI dengan tujuan untuk menyampaikan aspirasimendapatkan ijinmeninjau (menyaksikan jalannya Rapat atau Persidangan yang dinyatakan terbuka oleh Pimpinan Rapat atau Pimpinan Sidang)dan mendapatkan ijin untuk melakukan audiensi dengan Alat Kelengkapan Dewan atau Anggota Dewan secara pribadiserta untukDewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang ingin melakukan kunjungan untuk tujuan konsultasi ke DPR RI ataupun keSekretariat Jenderal DPR RI dapat menghubungi Humas Sub Bagian Penyaluran Delegasi Masyarakat.
Sementara untuk Delegasi Masyarakat yang datang ke DPR RI untuk menyampaikan aspirasi dapat menyampaikan langsungsecara tertulis dalam bentuk surat dengan tujuan dan permasalahan yang jelasuntuk kemudian surat tersebut diteruskan kepadaAlat Kelengkapan Dewan atau kepada Anggota Dewan secara pribadi oleh Humas Sub Bagian Penyaluran Delegasi Masyarakat(PDM).
Bagi masyarakat yang ingin datang menyaksikan jalannya Rapat atau Persidangan yang dinyatakan terbuka oleh Pimpinan Rapatatau Pimpinan Sidang (meninjaudan yang ingin mengadakan audiensi dengan Alat Kelengkapan Dewan atau Anggota Dewansecara pribadi bisa mendapatkan surat ijin meninjau atau diagendakan untuk audiensi oleh Bagian Humas Sub PDMSedangkanuntuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bermaksud untuk melakukan konsultasi dengan DPR RI dan Setjen DPR RI akanditerima oleh Bagian Humas Sub PDM untuk kemudian didampingi selama acara konsultasi hingga usai.

BAGIAN HUMAS
SEKRETARIAT JENDERAL DPR-RI
Telp. (021) 5715373 - 5715925 - 5715349
Fax. (021) 5715925
Email : bag_humas@dpr.go.id
Twitter : @DPR_RI

Senin, 24 November 2014

Jumlah penduduk negara

Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4 Besar Herdaru Purnomo - detikFinance Jakarta - Indonesia masih masuk posisi 5 besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Indonesia berada di nomor 4 bersaing dengan Brasil di posisi ke-5. Mengutip data Departemen Perdagangan AS, melalui Biro Sensusnya, Kamis (6/3/2014), China masih menguasai dunia dengan jumlah populasi terbanyak. China menempati posisi pertama dengan jumlah populasi yang mencapai 1,355 miliar. Berada di nomor dua, India memiliki jumlah penduduk yang tak kalah dengan China yakni mencapai 1,236 miliar. AS masih berada di posisi ke-3 dari peringkat negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Populasi penduduk di AS mencapai 318.892 juta. Indonesia berada di peringkat ke-4 dengan jumlah penduduk mencapai 253,60 juta jiwa dan disusul Brasil yang mencapai 202,65 juta jiwa. Negara tetangga Indonesia, yakni Malaysia berada di peringkat ke-43 dengan jumlah penduduk yang mencapai 30,07 juta jiwa berdasarkan biro sensus AS per 2014 ini. Berikut 20 besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia: China 1.355.692.576 India 1.236.344.631 Amerika Serikat 318.892.103 Indonesia 253.609.643 Brasil 202.656.788 Pakistan 196.174.380 Nigeria 177.155.754 Bangladesh 166.280.712 Russia 142.470.272 Jepang 127.103.388 Meksiko 120.286.655 Philippines 107.668.231 Ethiopia 96.633.458 Vietnam 93.421.835 Mesir 86.895.099 Turki 81.619.392 Jerman 80.996.685 Iran 80.840.713 Kongo 77.433.744 Thailand 67.741.401

Luas wilayah negara 2

waduk. Daftar negara menurut luas wilayahSunting Negara-negara berikut disusun menurut luas wilayah, termasuk provinsi-provinsi di luar tetapi tidak termasuk daerah kekuasaan. Posisi Negara Wilayah (km2) 1 Rusia 17.075.200 2 Kanada 9.976.140 3 Amerika Serikat 9.629.091 3.01 Samoa Amerika 199 3.02 Kepulauan Baker 1 3.03 Guam 549 3.04 Kepulauan Howland 1 3.05 Pulau Jarvis 4 3.06 Atol Johnston 3 3.07 Karang Kingman 1 3.08 Atol Midway 6 3.09 Pulau Navassa 5 3.10 Kepulauan Mariana Utara 464 3.11 Atol Palmyra 12 3.12 Puerto Rico 9.104 3.13 Kepulauan Virgin Amerika Serikat 352 3.14 Pulau Wake 6 3.t Total Amerika Serikat 9.639.810 4 Tiongkok (Tiongkok Daratan saja) 9.596.960 4.1 Hong Kong 1.092 4.2 Makau 25 4.t Total RRC 9.598.077 5 Brasil 8.511.965 6 Australia 7.686.850 6.1 Kepulauan Ashmore dan Cartier 5 6.2 Pulau Christmas 135 6.3 Kepulauan Cocos (Keeling) 14 6.4 Kepulauan Laut Koral 3 6.5 Pulau Heard dan Kepulauan McDonald 412 6.6 Pulau Norfolk 34 6.t Total Australia 7.687.453 - Uni Eropa 4.324.782 7 India 3.287.590 8 Argentina 2.766.890 9 Kazakhstan 2.727.300 10 Aljazair 2.381.740 11 Republik Demokrasi Kongo 2.345.410 12 Arab Saudi 2.218.000 13 Indonesia 1.990.250 14 Libya 1.989.440 15 Meksiko 1.909.540 16 Sudan 1.861.484 17 Iran 1.648.000 18 Mongolia 1.565.000 19 Peru 1.285.220 20 Chad 1.284.000 21 Niger 1.267.000 22 Angola 1.246.700 23 Mali 1.240.000 24 Afrika Selatan 1.219.912 25 Kolombia 1.138.910 26 Ethiopia 1.127.127 27 Bolivia 1.098.580 28 Mauritania 1.030.700 29 Mesir 1.001.450 30 Tanzania 948.087 31 Nigeria 923.768 32 Venezuela 912.050 33 Namibia 825.418 34 Pakistan 803.940 35 Mozambik 801.590 36 Turki 780.580 37 Chile 756.950 38 Zambia 752.614 39 Myanmar 678.500 40 Afghanistan 647.500 41 Sudan Selatan 644.329 42 Prancis 643.427 42.01 Prancis Metropolitan 547.030 42.02 Bassas da India 02 41.03 Pulau Clipperton 6 42.04 Pulau Europa 28 42.05 Daratan Selatan dan Antarktika Prancis 7.829 42.06 Guyana Prancis 91.000 42.07 Polynesia Prancis 4.167 42.08 Kepulauan Glorioso 5 42.09 Guadeloupe 1.780 42.10 Pulau Juan de Nova 4 42.11 Martinique 1.100 42.12 Mayotte 374 42.13 Kaledonia Baru 19.060 42.14 Réunion 2.517 42.15 Saint-Pierre dan Miquelon 242 42.16 Pulau Tromelin 1 42.17 Wallis dan Futuna 274 42.t Total Prancis 675.417 43 Somalia 637.657 44 Republik Afrika Tengah 622.984 45 Ukraina 603.700 46 Botswana 600.370 47 Madagaskar 587.040 48 Kenya 582.650 49 Yaman 527.970 50 Thailand 514.000 51 Spanyol 504.782 51.1 Ceuta 28 51.2 Melilla 20 51.t Total Spanyol 504.830 52 Turkmenistan 488.100 53 Kamerun 475.440 54 Papua Nugini 462.840 55 Swedia 449.964 56 Uzbekistan 447.400 57 Maroko 446.550 57.1 Sahara Barat 266.000 57.t Total Maroko 712.550 58 Irak 437.072 59 Paraguay 406.750 60 Norwegia 386.700 60.1 Pulau Bouvet 58 60.2 Jan Mayen 373 60.3 Svalbard 62.049 60.t Total Norwegia 449.170 61 Zimbabwe 390.580 62 Jepang 377.835 63 Jerman 357.021 64 Republik Kongo 342.000 65 Finlandia 337.030 66 Malaysia 329.750 67 Vietnam 329.560 68 Côte d'Ivoire (Pantai Gading) 322.460 69 Polandia 312.685 70 Oman 309.500 71 Italia 301.230 72 Filipina 300.000 73 Ekuador 283.560 74 Burkina Faso 274.200 75 Selandia Baru 268.680 75.1 Kepulauan Cook 240 75.2 Niue 260 75.3 Tokelau 10 75.t Total Selandia Baru 269.190 76 Gabon 267.667 77 Guinea 245.857 78 Britania Raya 244.820 78.01 Inggris 130.395 78.02 Skotlandia 78.782 78.03 Wales 20.779 78.04 Irlandia Utara 13.843 78.05 Anguilla 102 78.06 Teritori Samudra Hindia Britania 60 78.07 Kepulauan Virgin Britania 153 78.08 Bermuda 53 78.09 Kepulauan Cayman 262 78.10 Kepulauan Falkland 12.173 78.11 Gibraltar 6 78.12 Guernsey 78 78.13 Isle of Man 572 78.14 Jersey 116 78.15 Montserrat 102 78.16 Kepulauan Pitcairn 47 78.17 Saint Helena 410 78.18 Kepulauan Georgia Selatan dan Sandwich Selatan 3.903 78.19 Kepulauan Turks dan Caicos 430 78.t Total Britania Raya 263.287 79 Ghana 238.540 80 Rumania 237.500 81 Laos 236.800 82 Uganda 236.040 83 Guyana 214.970 84 Belarus 207.600 85 Kirgistan 198.500 86 Senegal 196.190 87 Suriah 185.180 88 Kamboja 181.040 89 Uruguay 176.220 90 Tunisia 163.610 91 Suriname 163.270 92 Bangladesh 144.000 93 Tajikistan 143.100 94 Nepal 140.800 95 Yunani 131.940 96 Nikaragua 129.494 97 Eritrea 121.320 98 Korea Utara 120.540 99 Malawi 118.480 100 Benin 112.620 101 Honduras 112.090 102 Liberia 111.370 103 Bulgaria 110.910 104 Guatemala 108.890 105 Islandia 103.000 106 Kuba 100.860 107 Korea Selatan 98.480 108 Hungaria 93.030 109 Portugal 88.941 109.1 Kepulauan Azores 2.247 109.2 Kepulauan Madeira 794 109.t Total Portugal 91.982 110 Yordania 92.300 111 Azerbaijan 86.600 112 Austria 83.858 113 Uni Emirat Arab 82.880 114 Republik Ceko 78.866 115 Panama 78.200 116 Serbia 77.474 117 Bosnia-Herzegovina 74.740 118 Republik Irlandia 70.273 119 Georgia 69.700 120 Sri Lanka 65.610 121 Lithuania 65.200 122 Latvia 64.589 123 Togo 56.785 124 Kroasia 56.542 125 Sierra Leone 51.129 126 Kosta Rika 51.100 127 Slovakia 49.035 128 Republik Dominika 48.730 129 Bhutan 47.000 130 Estonia 45.226 131 Denmark 43.094 131.1 Jylland dan pulau-pulau sekitarnya 43.094 131.2 Kepulauan Faroe 1.399 131.3 Greenland 2.166.086 131.t Total Denmark 2.210.579 132 Belanda 41.526 132.1 Aruba 193 132.2 Antillen Belanda 960 132.t Total Belanda 42.679 133 Swiss 41.290 134 Guinea-Bissau 36.120 135 Taiwan (termasuk Pulau-pulau Quemoy Matsu dan Pescadores) 35.980 136 Moldova 33.843 137 Belgia 32.545 138 Lesotho 30.355 139 Armenia 29.800 140 Albania 28.748 141 Kepulauan Solomon 28.450 142 Guinea Ekuatorial 28.051 143 Burundi 27.830 144 Haiti 27.750 145 Rwanda 26.338 146 Republik Macedonia 25.333 147 Belize 22.966 148 Djibouti 22.000 149 El Salvador 21.040 150 palestine 20.770 150.1 Jalur Gaza 360 150.2 Tepi Barat 5.860 150.t Total palestine 26.990 151 Slovenia 20.253 152 Fiji 18.270 153 Kuwait 17.820 154 Swaziland 17.363 155 Timor Leste 14.874 156 Bahama 13.940 157 Montenegro 13.812 158 Vanuatu 12.200 159 Qatar 11.437 160 Gambia 11.300 161 Jamaika 10.990 162 Kosovo 10.887 163 Libanon 10.452 164 Siprus 9.250 165 Brunei Darussalam 5.770 166 Trinidad dan Tobago 5.128 167 Tanjung Verde 4.033 168 Samoa 2.860 169 Luxemburg 2.586 170 Komoro 2.170 171 Mauritius 1.860 172 São Tomé dan Príncipe 1.001 173 Dominika 754 174 Tonga 748 175 Kiribati 717 176 Mikronesia 702 177 Singapura 697 178 Bahrain 665 179 Saint Lucia 620 180 Seychelles 455 181 Andorra 468 182 Palau 458 183 Antigua dan Barbuda 442 184 Barbados 430 185 Saint Vincent and the Grenadines 389 186 Grenada 340 187 Malta 316 188 Maladewa 300 189 Saint Kitts and Nevis 261 190 Kepulauan Marshall 181 191 Liechtenstein 160 192 San Marino 61,2 193 Tuvalu 26 194 Nauru 21 195 Rep.Demokratik Jonggol 7 196 Monako 1,95 197 Vatikan 0,44

Luas beberapa negara

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_luas_wilayah

Rabu, 19 November 2014

Pidana umum

Tanggung Jawab Individu dalam Hukum Internasional – Tindak Pidana Internasional Tinjauan Umum Seseorang yang bertindak atas nama suatu negara juga dapat dipertanggung-jawabkan secara individual. Sehingga, meskipun suatu negara bertanggung jawab atas suatu perbuatan yang dipersalahkan (a wrongful act) yang dilakukan oleh para pejabatnya, para pejabat itu secara individual juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana untuk perbuatan yang sama, khususnya yang menyangkut pelanggaran terhadap hukum sengketa bersenjata (hukum humaniter) dan tindak pidana internasional lainnya. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan Artikel, jika seorang individu melakukan suatu tindak pidana internasional ia tetap dapat dituntut pertanggung-jawabannya secara individual, meskipun orang yang bersangkutan pada saat melakukan perbuatan itu berkedudukan sebagai organ negara. Ketentuan ini menjadi penting untuk mencegah terjadinya keadaan di mana seseorang berdalih di balik statusnya sebagai organ negara untuk menghindarkan diri dari tanggung jawabnya atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Jenis-jenis tindak pidana internasional Ada tiga sumber untuk menemukan perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana internasional, yaitu: Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang dalam praktik hukum internasional; Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional; Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Dengan telah berlakunya Statuta Roma (Rome Statute, selanjutnya disebut “Statuta”), yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC), pada tanggal 17 Juli 1998, jenis-jenis tindak pidana menurut ketiga sumber itu terangkum dalam Pasal 5 Statuta, walaupun tidak seluruhnya, yang mengatur tentang yurisdiksi ICC, yaitu: a) Kejahatan Genosida b) Kejahatan terhadap Kemanusiaan; c) Kejahatan Perang; d) Agresi. Yang dimaksud dan termasuk ke dalam kejahatan Genosida adalah salah satu atau lebih dari perbuatan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama, seperti : membunuh anggota kelompok; menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruhnya atau sebagian; memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam suatu kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud dan yang termasuk ke dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan adalah salah satu dari beberapa perbuatan berikut yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan terhadap penduduk sipil: pembunuhan; pembasmian; perbudakan; deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional; penyiksaan; pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa, atau berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya; penindasan terhadap suatu kelompok yang dapat dikenali atau terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, jender/jenis kelamin, atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; kejahatan rasial (apartheid); perbuatan tidak manusiawi yang serupa, yang dengan sengaja mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap badan, mental, atau kesehatan fisik seseorang. Adapun yang dimaksud dan yang termasuk ke dalam kejahatan perang adalah mencakup sejumlah perbuatan atau tindakan yang sangat luas yakni: a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu: sengaja melakukan pembunuhan; penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk percobaan-percobaan biologis; segaja menimbulkan penderitaan yang berat, atau luka badan maupun kesehatan yang serius; perusakan secara luas dan perampasan terhadap harta benda, yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan secara melawan hukum dan semena-mena; pemaksaan terhadap tawanan perang atau orang-orang yang dilindungi lainnya untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh; sengaja melakukan pencabutan hak tawanan perang atau orang-orang yang dilindungi lainnya atas pengadilan yang adil dan wajar; deportasi atau pemindahan atau penahanan secara melawan hukum; penyanderaan. b) Pelanggaran berat terhadap hukum dalam kerangka hukum internasional, mencakup 26 jenis perbuatan, yaitu: dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil atau terhadap orang sipil yang tidak secara langsung terlibat dalam pertempuran; dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap sasaran sipil yang bukan merupakan sasaran militer; dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap personel, instalasi-instalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan dan misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam PBB, sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut hukum internasional tentang konflik bersenjata; dengan sengaja melancarkan serangan yang diketahuinya bahwa serangan itu akan menimbulkan kematian atau cedera terhadap penduduk sipil, atau kerusakan terhadap sasaran sipil, atau mengakibatkan kerusakan yang meluas, sangat berat dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan alam yang secara tegas melampaui batas dalam kaitannya dengan upaya mengantisipasi keuntungan-keuntungan militer yang nyata dan langsung; penyerangan atau peledakan kota, desa-desa, tempat tinggal, dan gedung yang tidak dilindungi dan bukan sasaran militer; pembunuhan atau melukai kombatan yang sudah menyerah yaitu mereka yang sudah meletakkan senjatanya atau sudah tidak lagi memiliki sarana untuk melawan; penggunaan bendera gencatan senjata, tanda-tanda atau seragam militer musuh atau PBB, juga emblem pembeda (distinctive emblem) yang diatur dalam Konvensi Jenewa, dengan tidak semestinya, yang mengakibatkan kematian atau luka berat; pemindahan secara langsung maupun tidak langsung oleh kekuatan pendudukan (occupying power) terhadap sebagian penduduk sipilnya ke dalam wilayah yang diduduki, atau deportasi maupun pemindahan seluruh atau sebagian penduduk yang tinggal di daerah yang diduduki di dalam maupun keluar daerah mereka; secara sengaja melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, atau amal, bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dan luka-luka dikumpulkan, sepanjang tempat-tempat itu bukan untuk kepentingan militer; mewajibkan orang yang dalam kekuasaan pihak lawan untuk melakukan mutilasi fisik, atau untuk percobaan medis atau keilmuan apa pun yang tidak dibenarkan secara oleh medis, kesehatan gigi, atau perawatan rumah sakit terhadap seseorang yang dilakukan di luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya serius terhadap kesehatan orang itu; membunuh atau melukai orang sipil dari negara atau tentara musuh; menyatakan bahwa tidak ada tempat tinggal yang akan diberikan; penghancuran dan penyitaan barang milik musuh kecuali perusakan atau penyitaan tersebut terpaksa dilakukan demi kepentingan atau keperluan konflik; menyatakan penghapusan, penangguhan, atau tidak dapat diterimanya hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak musuh dalam suatu pengadilan; melakukan pemaksaan terhadap penduduk pihak lawan untuk ikut dalam operasi perang melawan negaranya sendiri, bahkan jikalaupun mereka berdinas dalam tentara musuh sebelum permulaan perang; perampasan kota atau tempat bahkan dengan penyerangan; penggunaan racun atau senjata beracun; penggunaan asphyxiating, gas beracun atau gas-gas lainnya dan semua cairan, bahan-bahan, atau peralatan-peralatan yang beracun; penggunaan peluru yang dengan mudah meluas dan hancur dalam tubuh manusia, seperti peluru dengan selubung keras yang tidak seluruhnya menutupi ujung peluru atau ujung peluru tersebut ditoreh; menggunakan senjata, proyektil, atau bahan dan metode perang yang pada dasarnya dapat menyebabkan luka yang berlebihan atau tidak perlu atau secara inheren dan membabibuta, dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional mengenai konflik bersenjata, yang mana senjata, proyektil peluru, dan bahan-bahan, serta metode tersebut secara komprehensif dilarang dan dicantumkan dalam lampiran Statuta ini melalui amandemen berkaitan dengan Pasal 121 dan 123; penghinaan terhadap martabat seseorang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan; atau pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran dan kehamilan secara paksa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) f, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang juga diatur dalam Konvensi Jenewa; penggunaan penduduk sipil atau orang yang dilindungi untuk membuat suatu wilayah militer atau pasukan militer immune dari operasi militer; dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap bangunan, bahan-bahan, unit-unit, alat transportasi, dan personel medis yang menggunakan emblem pembeda (distinctive emblem) dalam Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional; dengan sengaja menggunakan kelaparan penduduk sipil sebagai metode berperang dengan cara menghentikan persediaan bahan-bahan yang dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup, termasuk menghalangi bantuan bahan-bahan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa; mempekerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah umur limat belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakan mereka untuk ikut serta secara aktif dalam pertempuran; c) Dalam hal konflik bersenjata nasional (non-international armed conflict), pelanggaran berat terhadap Pasal 3 ketentuan yang bersamaan (common articles) dari keempat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ikut serta secara aktif dalam pertempuran, termasuk di dalamnya anggota tentara yang telah meletakkan senjatanya serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka, ditahan atau sebab-sebab lainnya: kekerasan terhadap jiwa dan raga, khususnya segala macam pembunuhan, mutilasi, perlakuan kejam, dan penyiksaan; penghinaan terhadap martabat seseorang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan; penyanderaan; penghukuman dan pelaksanaan hukuman tanpa didahului dengan putusan dari pengadilan yang dibentuk secara teratur yang memberikan segenap jaminan hukum yang diakui sebagai keharusan. d) Pelanggaran berat lainnya terhadap hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata nasional dalam kerangka hukum internasional, yang mencakup 12 macam perbuatan, yaitu: dengan sengaja melancarkan serangan terhadap penduduk sipil atau orang sipil yang tidak terlibat langsung dalam peperangan; dengan sengaja menyerang bangunan, material, unit-unit, dan transportasi serta personel medis yang menggunakan emblem pembeda (distinctive emblem) dalam Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional; dengan sengaja menyerang personel, instalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan dan misi penjaga perdamaian PBB, sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut hukum internasional tentang konflik bersenjata; dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, atau amal, bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dan luka-luka dikumpulkan, sepanjang tempat-tempat itu bukan untuk keperluan militer; merampas kota atau tempat bahkan dengan penyerangan; melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran dan kehamilan secara paksa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) f, sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap Pasal 3 ketentuan yang bersamaan yang terdapat dalam keempat Konvensi Jenewa; mempekerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah umur limat belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakan mereka untuk turut serta secara aktif dalam pertempuran; memerintahkan pemindahan lokasi penduduk sipil untuk alasan-alasan yang berkaitan dengan konflik, kecuali untuk alasan keamanan atau alasan militer mengharuskannya; membunuh atau melukai tentara lawan dengan curang; menyatakan bahwa tidak akan ada tempat tinggal yang diberikan; mewajibkan orang yang berada dalam kekuasaan pihak lawan untuk melakukan mutilasi fisik, atau untuk percobaan medis atau keilmuan apa pun yang tidak dibenarkan oleh perawatan medis, gigi, atau rumah sakit terhadap seseorang yang dilakukan di luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya serius terhadap kesehatan orang itu; mengharuskan atau merampas harta benda pihak lawan kecuali tindakan-tindakan tersebut terpaksa dilakukan demi kepentingan atau kebutuhan konflik. Negara anggota Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) telah sepakat tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan agresi, sebuah sumber perdebatan panjang yang berlangsung dalam ranah hukum internasional, setelah hampir satu dekade pembahasan. Negara-negara sepakat untuk mengamandemen Statuta Roma, yang membentuk mahkamah tersebut, untuk mendefinisikan kejahatan agresi sebagai “rencana, persiapan, permulaan atau pelaksanaan, oleh seseorang yang berada dalam posisi efektif untuk melaksanakan kontrol atau mengarahkan tindakan militer ataupun politik dari suatu negara, dari sebuah tindakan agresi, menurut karakter, gravitasi dan skalanya, merupakan bentuk pelanggaran atas Piagam PBB. Dibawah resolusi yang diadopsi pada akhir konferensi review selama dua minggu yang dilaksanakan oleh ICC di Kampala, Uganda, pada hari Jum’at (11/06), blokade atas pelabuhan atau pantai oleh pasukan bersenjata dari negara lain, begitu pula dengan invasi atau serangan oleh serdadu dari suatu negara terhadap wilayah territorial negara lain, dikategorikan sebagai tindakan agresi berdasarkan statuta tersebut. Negara-negara sepakat bahwa ICC dapat melakukan jurisdiksi atas kejahatan agresi, namun hanya berlaku terhadap mereka yang berkomitmen satu tahun setelah 30 Pihak Negara meratifikasi amandemen yang baru dibuat tersebut. Hal ini tidak akan terjadi setidaknya hingga tahun 2017, ketika Negara-negara tersebut bertemu kembali untuk melakukan review terhadap amandemen tersebut, berdasarkan resolusi baru yang diadopsi di ibukota Uganda. Resolusi tersebut juga mencatat bahwa apabila ICC ingin bergerak maju dengan sebuah investigasi terhadap berbagai kasus yang mungkin, ia akan mengajukan kasus tersebut kepada Dewan Keamanan. Apabila DK telah memutuskan bahwa memang telah terjadi tindakan agresi, maka jaksa penuntut akan bergerak menuju tahap penyelidikan. Sekretaris-Jenderal Ban Ki-moon, dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh juru bicaranya, menyambut apa yang digambarkannya sebagai “kesepakatan bersejarah” atas definisi agresi. “Teks persetujuan tersebut merupakan langkah maju yang signifikan dalam memerangi pembangkangan dan menuju era akuntabilitas,” sesuai pernyataan tersebut. Statuta Roma, yang diadopsi pada tahun 1998, termasuk mengenai kejahatan agresi-bersamaan dengan genosida, kejahatan melawan kemanusiaan dan kejahatan perang-sebagaimana empat kategori kejahatan tersebut yang mana memiliki jurisdiksinya masing-masing. Namun menurut Statuta tersebut, ICC tidak dapat melaksanakan haknya dalam bidang tersebut hingga dicapai kesepakatan mengenai sebuah definisi. Sejauh ini 111 negara telah menjadi bagian dari Statuta tersebut, sementara 37 lainnya telah menandatangani namun belum meratifikasinya. Namun beberapa negara terbesar dan paling kuat, seperti Cina, India, Rusia, dan Amerika Serikat, tidak bergabung. Pada awal konferensi Kampala, Ban menggarisbawahi bahwa sebuah “era akuntabilitas baru” kini sedang menggantikan “era pembangkangan lama”. Beliau mengatakan bahwa ICC kini bersifat “permanen”, semakin kuat, menghasilkan bayangan kegelapan yang panjang. Tidak ada kata kembali” Dalam era baru ini, mereka yang melakukan kejahatan kemanusian terburuk – apakah tentara atau pemimpin politik- “akan bertanggung jawab,” tegas Ban. Mantan presiden Serbia Slobodan Milosevic dan mantan pemimpin Liberia Charles Taylor merupakan beberapa yang sudah dipanggil ke mahkamah tersebut. Namun, ICC membutuhkan dukungan universal agar dapat mencapai apa yang dibutuhkannya, “Hanya dengan itulah para tersangka tak akan lagi memiliki tempat untuk sembunyi,” papar Sekretaris Jenderal.

Perdata

Perbedaan Hukum Pidana dengan Hukum Perdata Sebelum kita tahu perbedaan dari Hukum Pidana dengan Hukum Perdata. Kita perlu tahu pengertian dari masing – masing hukum tersebut. Pengertian Hukum Pidana secara umum adalah keseluruhan aturan hukum yang memuat peraturan – peraturan yang mengandung keharusan, yang tidak boleh dilakukan dan/atau larangan-larangan dengan disertai ancaman atau sanksi berupa penjatuhan pidana bagi barangsiapa yang melanggar atau melaksanakan larangan atau ketentuan hukum dimaksud. Sedangkan sanksi yang akan diterima bagi yang melanggarnya sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dimaksud. Bersumber dari KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maka sanksi pidana pada pokoknya terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli, secara sederhana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Dalam praktek, hubungan antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya ini, dilaksanakan dan tunduk karena atau pada suatu kesepakatan atau perjanjian yang disepakati oleh para subyek hukum dimaksud. Dalam kaitan dengan sanksi bagi yang melanggar, maka pada umumnya sanksi dalam suatu perikatan adalah berupa ganti kerugian. Permintaan atau tuntutan ganti kerugian ini wajib dibuktikan disertai alat bukti yang dalam menunjukkan bahwa benar telah terjadi kerugian akibat pelanggaran atau tidak dilaksanakannya suatu kesepakatan. Hukum Perdata mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan. Misal: A merupakan anggota kelompok simpan pinjam PPK. Pada waktu meminjam dana PPK si A terikat kontrak dengan program PPK melalui UPK. Hubungan hukum antara A dan UPK dikenai aturan hukum perdata. Bila dikemudian hari A tidak mau mengembalikan uang yang dipinjamnya, tindakan ini akan dikenai aturan hukum perdata. Sedang hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara seorang anggota masyarakat (sebagi warga Negara) dengan Negara (sebagi penguasa tata tertib masyarakat). Misal: Ketua kelompok UEP Bunga Mawar Tidak menyerahkan setoran kelompok kepada UPK, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi. Tindak pidana ini masuk dalam klausul delik pidana penggelapan. Bagaimana penerapan ke dua hukum tersebut? Pelanggaran terhadap aturan hukum perdata baru dapat diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan (disebut: penggugat). Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana segera diambil tindakan oleh aparat hukum tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, kecuali tindak pidana yang termasuk dalam delik aduan seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pencurian oleh keluarga, dll. Dalam hal terjadi tindakan diluar hukum baik pidana maupun perdata, penangannya diatur dalam Hukum Acara pidana dan Hukum Acara perdata. Perbedaan Hukum Acara Pidana dan Perdata? Perbedaan mengadili Hukum acara perdata mengatur cara mengadili perkara di muka pengadilan perdata oleh hakim perdata. Hukum acara pidana mengatur cara mengadili perkara pidana di muka pengadilan pidana oleh hakim pidana. Perbedaan pelaksanaan Pada acara perdata inisiatif beracara dari pihak berkepentingan yang dirugikan. Pada acara pidana inisiatif beracara datang dari penuntut umum/ jaksa. Perbedaan dalam penuntutan Dalam acara perdata, yang menuntut si tergugat adalah pihak yang dirugikan. Penggugat berhadapan dengan tergugat, jadi tidak ada penuntut umun/ jaksa. Dalam acara pidana, jaksa menjadi penuntut umum yang mewakili Negara, berhadapan dengan si terdakwa. Disini terdapat seorang jaksa. Misal: Ketua kelompok UEP Bunga Mawar Tidak menyerahkan setoran kelompok kepada UPK, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi. Tindak pidana ini masuk dalam klausul delik pidana penggelapan Misal: A merupakan anggota kelompok simpan pinjam PPK. Pada waktu meminjam dana PPK si A terikat kontrak dengan program PPK melalui UPK. Hubungan hukum antara A dan UPK dikenai aturan hukum perdata. Bila dikemudian hari A tidak mau mengembalikan uang yang dipinjamnya, tindakan ini akan hukum perdata mengatur hak pribadi dan hukum pidana mengatur hak yang berkenaan dengan orang banyak, sehingga apabila terjadi pelanggaran, dalam hukum perdata maka pelanggaran tersebut bisa ditindaklnjuti apabila ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan sedangkan dalam hukum pidana apabila terjadi suatu pelanggaran maka negara langsung mengambil tindakan kecuali dalam delik2 tertentu yaitu delik aduan….