Senin, 28 Juli 2014
Tersangka terdakwa
pa sih Bedanya Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana?
Halo agan dan aganwati,
Sering denger istilah "Tersangka", "Terdakwa", "Terpidana", dan "asas praduga tak bersalah" dong dari berita-berita atau bahkan infotainment.
Agan dan aganwati sudah tau belom perbedaannya apa di antara tersangka, terdakwa, dan terpidana, termasuk hak-haknya, serta arti dari asas praduga tak bersalah?
Penjelasannya begini nih gan:
Quote:
1. Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan antara tersangka, terdakwa, dan terpidana
2. Tersangka adlh seseorang yg krn perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sbg pelaku tindak pidana
3. Terdakwa adlh seorang tersangka yg dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan
4. Terpidana adlh seorang yg dipidana berdasarkan putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hukum tetap
5. Seseorang dinyatakan menjadi tersangka jk ada bukti permulaan bahwa ia patut diduga sbg pelaku tindak pidana
6. Dlm Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tdk ada batasan mengenai apa yg dimaksud dgn bukti permulaan yg cukup
7. Pengertian bukti permulaan yg cukup merujuk pd: Kep. Bersama MA, Menkeh, Kejakgung, & Kapolri Thn1984 ttg Peningkatan Koordinasi dlm Penanganan Perkara Pidana
8. Pengertian bukti permulaan yg cukup juga merujuk pd: Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 ttg Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana
9. Pengertian bukti permulaan yg cukup adlh minimal ada laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah
10. Jd utk dijadikan tersangka tdk cukup hanya dgn laporan dr pelapor. Hrs ada minimal satu alat bukti yg sah menurut KUHAP.
11. Berdasarkan KUHAP, alat bukti yg sah dlm pengadilan pidana adlh: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa
12. Perlu diketahui, menjadi tersangka dlm perkara pidana tdk mencabut hak seseorang utk melakukan suatu perbuatan hukum
13. Tersangka, terdakwa, atau terpidana pun masih memiliki hak utk melakukan laporan atau tuntutan dlm hal terjadi tindak pidana
14. Tersangka atau terdakwa tdk boleh dianggap bersalah sblm ada putusan yg berkekuatan hukum tetap (asas praduga tak bersalah)
15. Asas praduga tak bersalah ini terdpt dlm UU No. 48 Tahun 2009 ttg Kekuasaan Kehakiman & dlm Penjelasan Umum KUHAP
16. Dalam kondisi tertentu, terhadap tersangka atau terdakwa dapat dilakukan penangkapan atau penahanan
17. Penangkapan adlh tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa jk terdapat cukup bukti
18. Penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
19. Syarat dilakukannya penangkapan adlh jk ada seseorang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yg cukup
20. Penahanan adlh penempatan tersangka atau terdakwa di tmp tertentu o/ penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dgn penetapannya
21. Syarat dilakukannya penahanan: dlm hal dikhawatirkan tersangka atau terdakwa akan melarikan diri
22. Syarat dilakukannya penahanan: dlm hal dikhawatirkan tersangka atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti
23. Syarat dilakukannya penahanan: dlm hal dikhawatirkan tersangka atau terdakwa akan mengulangi tindak pidana
24. Seseorang yg ditahan sbg tersangka tdk dibebankan biaya apapun selama penahanan
25. Biaya2 yg timbul dr penahanan ditanggung o/ negara yg dianggarkan dlm Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (APBN)
26. Jk tersangka/terdakwa merasa penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan tdk sah, dpt mengajukan praperadilan
27. Atas penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan yg tdk sah, tersangka atau terdakwa dpt menuntut ganti kerugian
28. Tuntutan ganti kerugian praperadilan diajukan o/ tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya kpd pengadilan yg berwenang
29. Jk perkara pidana dihentikan pd tingkat penyidikan atau penuntutan, tuntutan ganti rugi praperadilan diputus di sidang praperadilan
30. Putusan pemberian ganti kerugian dalam praperadilan berbentuk penetapan
31. Terdakwa yg dinyatakan bersalah & dijatuhi pidana o/ putusan pengadilan yg berkekuatan hukum tetap statusnya mjd terpidana
32. Atas putusan pengadilan tsb, terpidana punya hak mendapatkan petikan surat putusan pengadilan
33. Petikan surat putusan pengadilan dpt diberikan kpd terdakwa atau penasehat hukumnya segera stlh putusan diucapkan
34. Baca juga: perbedaan hak tersangka & terpidana
35. Baca juga: Proses Penyelidikan dan Penyidikan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Wilayah R.I.
36. Baca juga: Bolehkah Bank Melaksanakan Penandatanganan Perjanjian Kredit dengan Calon Debitur Berstatus Tersangka?
37. Baca juga: Hak Tahanan Untuk Mengajukan Tuntutan Pidana
38. Baca juga: Bukti Permulaan yang Cukup Sebagai Dasar Penangkapan
39. Baca juga: Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik oleh Romli Atmasasmita
40. Baca juga: Praperadilan (3)
41. Baca juga: Praperadilan (2)
42. Baca juga: Praperadilan
43. Baca juga: Merasa Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan
44. Baca juga: Bisakah Menggugat Penyidik dan Penuntut Umum Secara Perdata?
45. Baca juga: Apakah Biaya Selama Penahanan Ditanggung Pihak Keluarga?
46. Baca juga: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
47. Baca juga: Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
48. Baca juga: PP No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan
Jadi sebenarnya tersangka, terdakwa, dan terpidana itu beda gan. Walaupun terkadang orang awan suka rancu dalam penggunaan kata-kata tersebut.
Tersangka, terdakwa, dan terpidana juga ternyata masih mempunyai hak-hak. Baik hak-hak terkait statusnya sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana, maupun hak-hak perdata.
Selain itu, dengan adanya asas praduga tak bersalah, agan dan aganwati juga tidak bisa menganggap seseorang bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap.
Uraian di atas, pernah kami publikasikan dalam sesi #MelekHukum di akun twitter @klinikhukum
Mungkin agan dan aganwati ada pengalaman terkait tersangka, terdakwa, atau terpidana, atau mungkin juga terkait asas praduga tak bersalah,
Minggu, 27 Juli 2014
Pedoman prilaku hakim
PEDOMAN PERILAKU HAKIM
A. PEMBUKAAN
Bahwa keadilan merupakan kebutuhan pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial dalam bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegak martabat dan integritas Negara. Hakim Sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan kewajiban menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari dan tirta merupakan cerminan perilaku Hakim harus senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Maha Esa, adil, bijaksana berwibawa, berbudi luhur dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip-prinsip pedoman Hakim dalam bertingkah laku, bemakna pengalaman tingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong Hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing. Seiring dengan keluhuran tugas dan luasnya kewenangan dalam menegakkan hukum dan keadilan, sering muncul tantangan dan godaan bagi para Hakim. Untuk itu, Pedoman Perilaku Hakim merupakan konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan sebagai Hakim yang berbeda dengan warga masyarakat biasa.
Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi Hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adat kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan dukungan sosial yang bertanggung jawab. Selain itu diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi diatas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.
Atas dasar kesadaran dan tanggung jawab tersebut, maka disusunlah Pedoman Perilaku Hakim ini dengan memperhatikan masukan dari Hakim di berbagai tingkatan dan Iingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetusksan dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI tahun 1966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam Munas XIII IKAHI tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim. Proses penyusunan pedoman ini didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai negara, antara lain Bangalore Principles. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan penjabaran dari ke 10 (sepuluh) prinsip pedoman yang meliputi kewajiban-kewajiban untuk : berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijakasana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional.
B. PENGERTIAN-PENGERTIAN
"Hakim" adalah seluruh Hakim termasuk Hakim ad hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan semua tingkatan peradilan.
"Pegawai Pengadilan" adalah seluruh pegawai yang bekerja di badan-badan peradilan.
"Pihak Berwenang" adalah pemangku jabatan atau tugas yang bertanggung jawab melakukan proses dan penindakan atas pelanggaran.
"Penuntut" adalah Umum dan Oditur Militer.
C. PENGATURAN
BERPERILAKU ADIL
Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.
Penerapan:
1.1. Umum
1.1.1. Hakim tidak boleh memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi Hakim tersebut (fairness).
1.1.2. Dalam melaksanakan tugas peradilan, Hakim tidak boleh, baik dalam perkataan, sikap, atau tindakan menunjukan rasa tidak suka, keberpihakan, prasangka, membeda-bedakan atas dasar perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau orang-orang yang sedang berhubungan dengan pengadilan.
1.1.3. Hakim harus mendorong Pegawai Pengadilan, Advokat dan Penuntut serta pihak lainnya yang tunduk pada arahan dan pengawasan Hakim untuk menerapkan standar perilaku yang sama dengan Hakim sebagaimana disebutkan dalam butir 1.1.2.
1.1.4. Hakim tidak boleh mengeluarkan perkataan, bersikap atau melakukan tindakan, yang dapat menimbulkan kesan yang beralasan dapat diartikan sebagai keberpihakan, tidak atau kurang memberikan kesempatan yang sama, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi.
1.1.5. Hakim harus memberi keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.
1.2. Mendengar Kedua Belah Pihak
1.2.1. Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.
1.2.2. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara diluar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.
BERPERILAKU JUJUR
Kejujuran pada hakekatnya bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.
Penerapan:
2.1. Umum
2.1.1. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela.
2.1.1. Hakim Harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun diluar pengadilan, selau menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality)
2.2. Pemberian Hadiah.
Hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
Advokat
Penuntut
Pihak yang kemungkinan kuat akan diadili
Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
2.3. Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan
2.3.1. Hakim wajib melaporkan secara tertulis pemberian yang termasuk gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
2.3.2. Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan sebelum dan setelah menjabat tanpa ditunda-tunda, bersedia diperiksa kekayaan segera setelah memangku jabatan dan setelah menjabat, serta wajib melakukan segala upaya untuk memastikan kewajiban tersebut dapat dijalankan secara baik, apabila diperlukan oleh pihak yang berwenang, Hakim harus bersedia diperiksa kekayaannya pada saat atau selama memangku jabatan.
BERPERILAKU ARIF DAN BIJAKSANA
Arif dan bijaksana pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
Penerapan:
3.1. Pemberian Pendapat atau Keterangan
3.1.1. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara diluar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara yang lain.
3.1.2. Hakim yang diberikan tugas resmi oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak berhubungan dengan substansi perkara dari suatu perkara.
3.1.3. Hakim dapat memberikan keterangan atau menulis artikel dalam surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk-bentuk kontribusi lainnya yang dimaksudkan untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai hukum atau administrasi peradilan secara umum yang tidak berhubungan dengan masalah substansi perkara tertentu.
3.1.4. Hakim dalam keadaan apapun tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik dan pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun.
3.1.5. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan Hakim dalam perkara lain.
3.2. Aktivitas Keilmuan, Sosial Kemasyarakatan
3.2.1. Hakim dapat menulis, memberi kuliah, mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan mengenai hukum, sistem hukum, administrasi peradilan dan non-hukum, selama kegiatan-kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi Hakim dalam membahas suatu perkara.
3.2.2. Hakim boleh menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum, sistem hukum, administrasi peradilan lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian Hakim.
3.2.3. Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa Hakim tersebut mendukung suatu partai politik
BERSIKAP MANDIRI
Mandiri pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun.
Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dam ketentuan hukum yang berlaku.
Penerapan:
Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun.
BERINTEGRITAS TINGGI
Integritas tinggi pada hakekatnya bermakna mempunyai kepribadian utuh tak tergoyahkan, yang terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu berusaha melakukan tugas dengan segala cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.
Penerapan:
5.1. Umum
5.1.1. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan
5.1.2. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.
5.1.3. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat.
5.1.4. Pimpinan Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif dan dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat hukum selama hal tersebut tidak berhubungan langsung dengan suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke Pengadilan.
5.2. Konflik Kepentingan
5.2.1. Hubungan Pribadi dan Kekeluargaan.
5.2.1.1. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, Ketua Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut.
5.2.1.2. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara tersebut.
5.2.2. Hubungan Pekerjaan.
5.2.2.1. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah.
5.2.2.2. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim.
5.2.2.3. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga.
5.2.2.4. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan.
5.2.2.5. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik, apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.
5.2.3. Hubungan Finansial.
5.2.3.1. Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya.
5.2.3.2. Hakim tidak boleh menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan finansial.
5.2.3.3. Hakim tidak boleh mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan finansial.
5.2.4. Prasangka dan Pengetahuan atas Fakta.
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan.
5.3. Tata Cara Pengunduran Diri
5.3.1. Hakim yang memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam butir 5.2. wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.
5.3.2. Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri memeriksa dan mengadili suatu perkara lebih baik memilih mengundurkan diri.
BERTANGGUNG JAWAB
Bertanggung jawab pada hakekatnya bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan semua tugas dan wewenang sebaik mungkin serta bersedia menanggung segala akibat atas pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut.Rasa tanggung jawab akan mendorong terbntuknya pribadi yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, penuh pengabdian, serta tidak menyalahgunakan profesi yang diamanatkan.
Penerapan:
6.1. Penggunaan Predikat Jabatan.
Hakim tidak boleh menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.
6.2. Penggunaan Informasi Peradilan.
Hakim tidak boleh mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungannya dengan tugas-tugas peradilan.
MENJUNJUNG TINGGI HARGA DIRI
Harga diri pada hakekatnya bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi.
Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.
Penerapan:
7.1. Umum
Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
7.2. Aktivitas Bisnis
Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai Hakim.
7.3. Aktivitas lain
Hakim dilarang menjadi Advokat, atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara.
7.3.1. Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat, kecuali jika:
- Hakim tersebut menjadi pihak di persidangan; atau
- Memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk anggota keluarga atau teman yang tengah mengahadapi masalah hukum.
7.3.2. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter atau mediator salam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan dalam undang-undang atau peraturan lain.
7.3.3. Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor, administraror atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk urursan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut, dan hanya diperbolehkan jikan kegiatan tersebut secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi tugasnya sebagai Hakim.
7.3.4. Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.4. Aktivitas Masa Pensiun
Mantan Hakim sangat dianjurkan dan sedapat mungkin tidak menjalankan pekerjaan sebagai Advokat yang berpraktek di Pengadilan terutama di lingkungan peradian tempat yang bersangkutan pernah menjabat, sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun setelah memasuki masa pensiun atau berhenti sebagai Hakim.
BERDISIPLIN TINGGI
Disiplin pada hakekatnya bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
Disiplin tinggi akan mendorong tebentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksankan tugas, iklas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.
Penerapan:
8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hokum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan
8.2. Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
8.3. Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8.4. Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan.
BERPERILAKU RENDAH HATI
Rendah hati pada hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangan sikap tenggang rasa, seta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan iklas di dalam mengemban tugas.
Penerapan:
9.1. Pengabdian
Hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.
9.2. Popularitas
Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan senjungan dari siapapun juga.
BERSIKAP PROFESIONAL
Propesional pada hakekatnya bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.
Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang sentiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Penerapan:
10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.
10.2. Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administrative dan bekerjasama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan
D. PENUTUP
Hakim yang mengetahui atau menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa seorang Hakim lain telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini harus melakukan upaya yang layak untuk menghindari hal tersebut berulang atau dapat menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi para pihak, termasuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang dalam pengawasan Hakim. Membiarkan pelanggaran, adalah bertentangan dengan semangat membela korps Hakim dan lembaga peradilan pada umumnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh individu-individu Hakim pada akhirnya akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada seluruh Hakim dan lembaga peradilan.
Setiap Pimpinan Pengadilan harus berupaya sungguh-sungguh untuk memastikan agar Hakim di dalam lingkungannya mematuhi Pedoman Perilaku Hakim ini.
Pelanggaran terhadap Pedoman ini dapat diberikan sanksi. Dalam menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan atau pihak lain.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 22 Desember 2006
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
TTD
BAGIR MANAN
Tarif perkaara
BerandaBiaya Perkara
Profil Pengadilan
Beranda
Sambutan KPN Sarolangun
Gambaran Umum Sarolangun
Tentang PN Sarolangun
Struktur Organisasi
Profil Hakim & Pegawai
Tugas Pokok Dan Fungsi
S O P
Program Kerja
Fasilitas Pengadilan
Informasi Pengadilan
Jadwal Sidang
Statistik Perkara
Perkara
Prosedur Berperkara
Biaya Perkara
Transparansi Keuangan
Laporan Tahunan
Hak-Hak Pokok Masyarakat
Pelayanan Informasi
Pengaduan
Sistem Penelusuran Perkara
Publikasi
Tata Tertib Persidangan
Kode Etik Panitera
Kode Etik Profesi Hakim
Pedoman Perilaku Hakim
KUH Perdata
KUH Pidana
Berita
Surat
Putusan MK-RI
Link Terkait
Peraturan Dan Undang-Undang
Mahkamah Agung RI
Mahkamah Konstitusi RI
Ditjen Badilum
Ditjen Badilag
Ditjen Badilmiltun
Litbangdiklatkumdil
Biaya Perkara
LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN NEGERI SAROLANGUN
TANGGAL 24 JULI 2009
Nomor : W5.U9/ 246 /Pdt.01.1/VII/2009
TENTANG : PANJAR BIAYA PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI SAROLANGUN
A. I. PERDATA GUGATAN :
a. Kecamatan Sarolangun Rp. 500.000
b. Kecamatan Pauh Rp. 650.000
c. Kecamatan Air Hitam Rp. 750.000
d. Kecamatan Mandiangin Rp. 850.000
e. Kecamatan Bathin VIII Rp. 700.000
f. Kecamatan Pelawan Rp. 550.000
g. Kecamatan Singkut Rp. 600.000
h. Kecamatan Cermin Nan Gedang Rp. 625.000
i. Kecamatan Limun Rp. 850.000
j. Kecamatan Batang Asai Rp. 950.000
II. PERDATA PERMOHONAN :
a. Kecamatan Sarolangun Rp. 161.000
b. Kecamatan Pauh Rp. 261.000
c. Kecamatan Air Hitam Rp. 311.000
d. Kecamatan Mandiangin Rp. 411.000
e. Kecamatan Bathin VIII Rp. 211.000
f. Kecamatan Pelawan Rp. 171.000
g. Kecamatan Singkut Rp. 191.000
h. Kecamatan Cermin Nan Gedang Rp. 211.000
i. Kecamatan Limun Rp. 361.000
j. Kecamatan Batang Asai Rp. 611.000
III. PERDATA BANDING :
a. Kecamatan Sarolangun Rp. 635.000
b. Kecamatan Pauh Rp. 985.000
c. Kecamatan Air Hitam Rp. 1.160.000
d. Kecamatan Mandiangin Rp. 1.510.000
e. Kecamatan Bathin VIII Rp. 810.000
f. Kecamatan Pelawan Rp. 670.000
g. Kecamatan Singkut Rp. 740.000
h. Kecamatan Cermin Nan Gedang Rp. 810.000
i. Kecamatan Limun Rp. 1.335.000
j. Kecamatan Batang Asai Rp. 2.210.000
IV. PERDATA KASASI :
a. Kecamatan Sarolangun Rp. 1.050.000
b. Kecamatan Pauh Rp. 1.400.000
c. Kecamatan Air Hitam Rp. 1.575.000
d. Kecamatan Mandiangin Rp. 1.925.000
e. Kecamatan Bathin VIII Rp. 1.225.000
f. Kecamatan Pelawan Rp. 1.085.000
g. Kecamatan Singkut Rp. 1.155.000
h. Kecamatan Cermin Nan Gedang Rp. 1.225.000
i. Kecamatan Limun Rp. 1.750.000
j. Kecamatan Batang Asai Rp. 2.625.000
V. PERDATA PENINJAUAN KEMBALI :
a. Kecamatan Sarolangun Rp. 3.050.000
b. Kecamatan Pauh Rp. 3.400.000
c. Kecamatan Air Hitam Rp. 3.575.000
d. Kecamatan Mandiangin Rp. 3.925.000
e. Kecamatan Bathin VIII Rp. 3.225.000
f. Kecamatan Pelawan Rp. 3.085.000
g. Kecamatan Singkut Rp. 3.155.000
h. Kecamatan Cermin Nan Gedang Rp. 3.225.000
i. Kecamatan Limun Rp. 3.750.000
j. Kecamatan Batang Asai Rp. 4.625.000
B. I. SITA JAMINAN / PENCABUTAN SITA :
a. Kecamatan Sarolangun Rp. 1.250.000
b. Kecamatan Pauh Rp. 1.500.000
c. Kecamatan Air Hitam Rp. 1.650.000
d. Kecamatan Mandiangin Rp. 1.850.000
e. Kecamatan Bathin VIII Rp. 1.850.000
f. Kecamatan Pelawan Rp. 1.925.000
g. Kecamatan Singkut Rp. 1.950.000
h. Kecamatan Cermin Nan Gedang Rp. 1.895.000
i. Kecamatan Limun Rp. 1.975.000
j. Kecamatan Batang Asai Rp. 2.150.000
II. TRANSPORTASI PEMERIKSAAN SETEMPAT :
a. Kecamatan Sarolangun Rp. 650.000
b. Kecamatan Pauh Rp. 900.000
c. Kecamatan Air Hitam Rp. 1.000.000
d. Kecamatan Mandiangin Rp. 1.250.000
e. Kecamatan Bathin VIII Rp. 750.000
f. Kecamatan Pelawan Rp. 700.000
g. Kecamatan Singkut Rp. 750.000
h. Kecamatan Cermin Nan Gedang Rp. 800.000
i. Kecamatan Limun Rp. 1.100.000
j. Kecamatan Batang Asai Rp. 1.500.000
III. PANGGILAN / PEMBERITAHUAN :
a. Kecamatan Sarolangun Rp. 75.000
b. Kecamatan Pauh Rp. 125.000
c. Kecamatan Air Hitam Rp. 150.000
d. Kecamatan Mandiangin Rp. 200.000
e. Kecamatan Bathin VIII Rp. 100.000
f. Kecamatan Pelawan Rp. 80.000
g. Kecamatan Singkut Rp. 90.000
h. Kecamatan Cermin Nan Gedang Rp. 100.000
i. Kecamatan Limun Rp. 175.000
j. Kecamatan Batang Asai Rp. 300.000
Kasasi
Permohonan kasasi diajukan oleh pemohon kepada Panitera selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan Pengadilan diberitahukan kepada terdakwa / Penuntut Umum dan selanjutnya dibuatkan akta permohonan kasasi oleh Panitera.
Permohonan kasasi yang melewati tenggang waktu tersebut, tidak dapat diterima, selanjutnya Panitera membuat Akta Terlambat Mengajukan Permohonan Kasasi yang diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi diajukan, pemohon kasasi harus sudah menyerahkan memori kasasi dan tambahan memori kasasi (jika ada). Untuk itu petugas membuat Akta tanda terima memori / tambahan memori.
Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu Panitera membuatkan memori kasasinya.
Panitera memberitahukan tembusan memori kasasi / kasasi kepada pihak lain, untuk itu petugas membuat tanda terima.
Termohon Kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi, untuk itu Panitera memberikan Surat Tanda Terima.
Dalam hal pemohon kasasi tidak menyerahkan memori kasasi dan atau terlambat menyerahkan memori kasasi, untuk itu Panitera membuat akta.
Apabila pemohon tidak menyerahkan dan atau terlambat menyerahkan memori kasasi, berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung, untuk itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Surat Keterangan yang disampaikan kepada pemohon kasasi dan Mahkamah Agung (SEMA No.7 Tahun 2005).
Terhadap perkara pidana yang diancam pidana paling lama 1 (satu) tahun dan / atau denda, putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.
Permohonan kasasi yang telah memenuhi syarat formal selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang waktu mengajukan memori kasasi berakhir, berkas perkara kasasi harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.
Dalam hal permohonan kasasi diajukan sedangkan terdakwa masih dalam tahanan, Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut segera melaporkan kepada Mahkamah Agung melalui surat atau dengan sarana-sarana elektronik.
Selama perkara kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut oleh pemohon. Dalam hal pencabutan dilakukan oleh kuasa hukum terdakwa, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari terdakwa.
Atas pencabutan tersebut, Panitera membuat akta pencabutan kasasi yang ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya akta tersebut dikirim ke Mahkamah Agung.
Untuk perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, Panitera Pengadilan Negeri wajib melampirkan penetapan penahanan dimaksud dalam berkas perkara.
Dalam hal perkara telah diputus oleh Mahkamah Agung, salinan putusan dikirim kepada Pengadilan Negeri untuk diberitahukan kepada terdakwa dan Penuntut Umum, yang untuk itu Panitera membuat akta pemberitahuan putusan. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, segera dikirim ke Mahkamah Agung.
Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara kasasi dan pelaksanaan putusan.
Sumber: - Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 5-8.
Kasasi waktu
dvanced Search
Tahapan Hukum Acara Pidana
Expand All | Collapse All
PRA PERSIDANGAN
PERSIDANGAN
PASCA PERSIDANGAN
Link Terkait
POLRI
MAHKAMAH AGUNG
JAKSA AGUNG
KPK
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DIREKTORAT JENDERAL BEA dan CUKAI
KOMNAS HAM
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on March 22, 2012
Pasal 245 (1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa. (2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/permohonan-kasasi/?s=permohonan-kasasiPosted under : Permohonan Kasasi, Pelanggaran HAM Berat
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on March 22, 2012
Pasal 31 (1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Penahanan, Pelanggaran HAM BeratAnakPerikanan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Posted on March 22, 2012
Pasal 33 (1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. (2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/pemeriksaan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=pemeriksaan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Pemeriksaan, AllPelanggaran HAM Berat
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on March 22, 2012
Pasal 253 (1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan : apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/pemeriksaan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=pemeriksaan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Pemeriksaan, Pelanggaran HAM Berat
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on December 2, 2011
Pasal 251 (1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 157 berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi. (2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara hakim dan.atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera tingkat banding serta tingkat pertama, yang telah mengadili perkara yang sama. (3) Jika seorang hakim …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllPelanggaran HAM BeratKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on December 1, 2011
Pasal 254 Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 245, Pasal 246, dan Pasal 247. mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. Pasal 255 (1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/putusan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=putusan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Putusan, AllPelanggaran HAM BeratKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on December 1, 2011
Pasal 253 (1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan : apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/pemeriksaan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=pemeriksaan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Pemeriksaan, AllKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on December 1, 2011
Pasal 245 (1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa. (2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/permohonan-kasasi/?s=permohonan-kasasiPosted under : Permohonan Kasasi, AllKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on December 1, 2011
Pasal 28 (1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Penahanan, AllKorupsiNarkotika dan PsikotropikaPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Posted on December 1, 2011
Pasal 49 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Penahanan, AllAnak
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Posted on December 1, 2011
Pasal 17 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Penahanan, AllPelanggaran HAM Berat
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Posted on December 1, 2011
Pasal 18 (1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat kasasi sebagai hakim tunggal. (2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Mahakamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis. (3) Hakim kasasi dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti. Penjelasan Pasal 18 Ayat (2) Lihat …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllAnak
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Posted on December 1, 2011
Pasal 33 (3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang. (4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllPelanggaran HAM Berat
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang
Posted on December 1, 2011
Pasal 35 (1) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Posted on December 1, 2011
Pasal 74 Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang undangan.
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllNarkotika dan PsikotropikaPencucian Uang
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Posted on December 1, 2011
Pasal 83 (1) Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllPerikananPencucian Uang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on December 1, 2011
Pasal 88 Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi. Pasal 244 Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllPelanggaran HAM BeratKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Posted on December 1, 2011
Pasal 35 Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllPelanggaran HAM BeratKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Posted on November 30, 2011
Pasal 30 (2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. (3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. (4) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/putusan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=putusan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Putusan, AllPelanggaran HAM BeratKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Posted on November 30, 2011
Pasal 31 Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/pemeriksaan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=pemeriksaan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Pemeriksaan, AllKorupsiPencucian Uang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Posted on November 30, 2011
Pasal 45 A (1) Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung. (2) Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum. (3) Pelaksanaan …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/permohonan-kasasi/?s=permohonan-kasasiPosted under : Permohonan Kasasi, AllPelanggaran HAM BeratKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Posted on November 30, 2011
Pasal 83 (2) Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang Mahkamah Agung berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari (3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10 (sepuluh) hari. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Penahanan, AllPerikananPencucian Uang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Posted on November 30, 2011
Pasal 1 Angka 21 Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=penahanan-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Penahanan, AllPelanggaran HAM BeratKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Posted on November 30, 2011
Pasal 31 Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllKorupsiPencucian Uang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Posted on November 30, 2011
Pasal 30 (1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) Dalam …
/proses/persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/
http://acarapidana.bphn.go.id/proses/umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasi/?s=umum-persidangan-pengadilan-tingkat-kasasiPosted under : Umum, AllPelanggaran HAM BeratKorupsiNarkotika dan PsikotropikaAnakPerikananPencucian UangTerorisme
Sabtu, 26 Juli 2014
Kasasi
III. Prosedur dan Proses Penyelesaian Perkara Kasasi
PROSEDUR :
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon Kasasi :
1. Mengajukan permohonan kasasi secara tertulis atau lisan melalui pengadilan agama/mahkamah syar'iyah yang memutus perkara dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah penetapan/putusan pengadilan tinggi agama/mahkamah syar'iyah provinsi diberitahukan kepada Pemohon (Pasal 46 ayat(1)UU No.14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No 5 Tahun 2004).
2. Membayar biaya perkara kasasi (Pasal 46 ayat(3) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No 5 Tahun 2004).
3. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar.
4. Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonannya di daftar (Pasal 47 ayat(1) UU No 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No 5 Tahun 2004).
5. Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memori kasasi (Pasal 47 ayat(2) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004).
6. Pihak lawan dapat mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi (Pasal 47 ayat(3) UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004).
7. Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung selambal-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya memori kasasi dan jawaban memori kasasi (Pasal 48 UU No 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004).
8. Panitera Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah untuk selanjutnya disampaikan kepada para pihak.
9. Setelah putusan disampaikan kepada para pihak maka panitera :
a. Untuk perkara cerai talak :
1) Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil kedua belah pihak.
2) Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari.
b. Untuk perkara cerai gugat:
Memberikan Akta Cerar sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
PROSES PENYELESAIAN PERKARA :
1. Pemohonan kasasi diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian dicatat dan diberi nomor rcgister perkara kasasi.
2. Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon kasasi bahwa perkaranya telah diregistrasi.
3. Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara kasasi.
4.Penyerahan berkuas perkara oleh asisten koordinator (Askor) kepada panitera pengganti yang menangani perkara tersebut.
5 Panitera pengganti mendistribusikan betrkas perkara ke Majelis Hakim Agung masing-masing (pembaca 1 , 2 dan pembaca 3) untuk diberi pendapat.
6. Majelis Hakim Agung memutus perkara.
7. Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan kasasi.
PK tertentu
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu
Definisi perjanjian kerja menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Menurut Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Pada artikel ini akan dibahas mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.
PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. PKWT dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin dan PKWT wajib didaftarkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
pekerjaan yang bersifat musiman, yaitu pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca sehingga hanya dapat dilakukan untuk satu pekerjaan pada musim tertentu; atau
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun serta dapat diperbaharui 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya PKWT yang lama.
Khusus untuk PKWT yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan tidak dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja.
Upah UU 13 thn 2003
Pengupahan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) pada Bab 10 mengatur tentang Pengupahan. Menurut Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi:
a). upah minimum;
b). upah kerja lembur;
c). upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d). upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e). upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f). bentuk dan cara pembayaran upah
g). denda dan potongan upah;
h). hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i). struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j). upah untuk pembayaran pesangon; dan
k). upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa upah minimum ditetapkan pemerintah berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
Larangan
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Dalam hal pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum yang telah ditentukan tersebut, dapat dilakukan penangguhan yang tata cara penangguhannya diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
Kemudian, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika kesepakatan tersebut lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Struktur Skala Upah
Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Peninjauan upah secara berkala tersebut dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.49/MEN/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.
Kewajiban Pembayaran Upah
Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Namun, pengusaha wajib membayar upah apabila:
a) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Pengaturan pelaksanaan ketentuan di atas, ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Perhitungan Upah Pokok
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Sanksi
Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. Kemudian, pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah diatur oleh Pemerintah.
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Kadaluarsa
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa, setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup yang layak, dan perlindungan pengupahan, penetapan upah minimum, dan pengenaan denda diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Akibat hukum ketenahakerjan bertentangan dgn UU
Hukum Tenaga Kerja
Pengetahuan Hukum Tenaga Kerja di Indonesia
Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Kerja yang Bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan
Pada dasarnya, sahnya suatu perjanjian dibuat berdasarkan syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yaitu :
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu hal tertentu;
suatu sebab yang halal.
Syarat-syarat perjanjian sebagaimana tersebut di atas, meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif. Apabila perjanjian tidak sesuai dengan syarat subyektif pada angka 1 dan angka 2, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dan apabila perjanjian tidak sesuai dengan syarat obyektif pada angka 3 dan angka 4, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), mengatur mengenai akibat hukum terhadap perjanjian kerja yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
kesepakatan kedua belah pihak;
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan, sendagkan perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pengertian dapat dibatalkan (vernietigbaar) adalah salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
Sedangan pengertian batal demi hukum (Null and Void) adalah dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian kerja itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan/atau tidak pernah ada suatu perikatan.
Dalam Pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
Pengawasan n penyidikan ketenagakerjaan
Pengawasan dan Penyidikan dalam Ketenagakerjaan
Proses penegakan hukum bidang ketenagakerjaan selama ini dilakukan melalui upaya atau pendekatan persuasif-edukatif dengan mengedepankan sosialisasi serta informasi tentang peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Dalam tahapan awal, pemerintah memberdayakan para pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pembinaan dan sosialiasi kepada perusahaan-perusahaan dan pekerja/buruh agar bisa menjalankan aturan-aturan ketenagakerjaan.
Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan bersifat independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang mempunyai lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan baik di lingkungan pemerintah pusat, maupun di lingkungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib:
merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Pengawas ketenagakerjaan selain bertugas melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil berwenang:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenaga kerjaan;
melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Sebab phk
Sebab-Sebab Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam melaksanakan hubungan kerja terkadang terjadi perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Perselisihan yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam hubungan kerja dapat menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya dilingkungan kerja;
melakukan perbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja;
menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk mekukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pembuktian bahwa pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
pekerja/buruh tertangkap tangan;
ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan sebagai berikut:
pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
pekerja/buruh menjalankan ibadah ibadah yang diperintahkan agamanya;
pekerja/buruh menikah;
pekerka/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peratauran perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;\
pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan mengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya berlum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan tersebutdi atas adalah batal demi hukum dan pengusaha waajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan
Mogok hak pekerja
Mogok Kerja Sebagai Sebagai Salah Satu Hak Para Pekerja
Mogok kerja merupakan hak dasar yang dimiliki oleh pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh. Mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh sebagai akibat gagalnya suatu perundingan yaitu tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan. Definisi mogok kerja berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat/pekerja buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Mogok kerja yang dibenarkan dalam UU Ketenagakerjaan adalah mogok yang dilakukan secara sah, tertib dan damai serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan. Dalam waktu sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sekurang-kurangnya memuat:
waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
tempat mogok kerja;
alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
Apabila mogok kerja dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pengusaha dan instansi terkait, maka pengusaha dan instansi terkait dalam rangka menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, dapat mengambil tindakan sementara sebagai berikut:
melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja wajib memberikan tanda terima. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Apabila dalam hal perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. Tetapi apabila perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
Mogok kerja yang dilakukan tanpa memenuhi ketentuan UU Ketenagakerjaan adalah mogok kerja yang tidak sah. Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah mengatur tentang mogok kerja yang dapat dikatagorikan sebagai tidak sah apabila dilakukan:
bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau;
isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU Ketenagakerjaan.
Pengusaha, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, atau pihak lain tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai. Selain itu pengusaha, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, atau pihak lain juga dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib dan damai sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan.
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan yang berlaku dan dilakukan secara sah, tertib, dan damai pengusaha dilarang untuk:
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
PHK
Pemutusan Hubungan Kerja dan Konsekuensinya
Perselisihan perburuhan yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pengusaha sering mengarah pada Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”). PHK dapat terjadi karena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati bersama atau diperjanjikan sebelumnya, dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan perburuhan. Ketentuan mengenai PHK dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) meliputi PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain. Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan mendefinisikan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi PHK. Apabila segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam hal perundingan tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Permohonan penetapan pemutuskan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal 156 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa apabila terjadi PHK pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh. Perhitungan uanga pesangon yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh ditetapkan sebagai berikut:
masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang darai 8 tahun, 8 bulan upah;
masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh ditetapkan sebagai berikut:
masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh meliputi:
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Jenis perselisihan PHI
Jenis – Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Penyelesaian hubungan industrial diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PHI”). Yang dimaksud dengan perselisihan hubungan industrial adalah perbedaaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Berdasarkan Pasal 2 UU PHI, jenis-jenis hubungan industrial meliputi:
1. Perselisihan hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Contohnya; (i) dalam Peraturan Perusahaan (“PP”), Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), dan perjanjian kerja; (ii) ada kesepakatan yang tidak dilaksanakan; dan (iii) ada ketentuan normatif tidak dilaksanakan.
2. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau PP, atau PKB. Contohnya: kenaikan upah, transpor, uang makan, premi dana lain-lain.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Contohnya; ketidaksepakatan alasan PHK dan perbedaan hitungan pesangon.
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.
Prosedur pengaduan perselisian H I dinas
Prosedur Pengaduan Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Dinas Ketenagakerjaan
Perselisihan hubungan industrial yang meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dapat diselesaikan dengan melalui dua jalur yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Namun Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 (“UU PHI”) tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, mengatur bahwa perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipatrit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila upaya bipatrit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak melakukan pengaduan ke Dinas Ketenagakerjaan.
Kemudian, Dinas Ketenagakerjaan mencatatkan pengaduan tersebut dengan menyediakan formulir pengaduan untuk diisi oleh para pihak. Salah satu atau kedua belah pihak yang mengadukan perselisihannya untuk dicatat oleh Dinas Ketenagakerjaan harus melampirkan bukti-bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian bipartit telah dilakukan (Pasal 4 ayat (1) UU PHI). Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud di atas tidak dilampirkan, maka Dinas Ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
Selanjutnya Dinas Ketenagakerjaan melakukan pemanggilan kepada para pihak untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. Jika para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 ayat (5) UU PHI).
Penyelesaian konsiliasi melalui Dinas Ketenagakerjan dilakukan untuk menangani penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Sedangkan penyelesaian arbitrase melalui Dinas Ketenagakerjaan dilakukan untuk menangani penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
Hukum tenaga kerja
Hukum Tenaga Kerja
Pengetahuan Hukum Tenaga Kerja di Indonesia
Arbitrase Hubungan Industrial
Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase merupakan salah satu alternatif yang bersifat sukarela (voluntary). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase dapat terjadi jika kedua belah pihak yang berselisih telah bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase. Arbitrase menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PHI”) adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh/serikat kerja pada suatu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial, melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih, untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang memiliki putusan mengikat para pihak dan bersifat final.
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU PHI menjelaskan bahwa kesepakatan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) yang masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) rangkap dan memiliki kekuatan hukum sama. Atas dasar hal tersebut, para pihak memilih atau menunjuk arbiter dari daftar yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Pasal 30 UU PHI menyebutkan wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Surat perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya memuat:
Nama lengkap dan alamat atau kedudukan para pihak yang berselisih;
Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
Jumlah arbiter yang disepakati;
Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.
Menurut ketentuan UU PHI, apabila kedua belah pihak sudah bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase, hal ini mengakibatkan lembaga pengadilan tidak lagi mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perselisihan para pihak tersebut, dikarenakan putusan lembaga arbitrase bersifat final and binding.
Perundingan Bipartit antara Pengusaha dan Pekerja
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (“UU PHI”) adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Setiap perundingan bipartit yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
1. nama lengkap dan alamat para pihak;
2. tanggal dan tempat perundingan;
3. pokok masalah atau alasan perselisihan;
4. pendapat para pihak;
5. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
6. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Dalam hal perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan mengembalikan berkas-berkas tersebut untuk dilengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Dan setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi, mediasi atau melalui arbitrase. Dan apabila para pihak tidak menetapkan pilihan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan secara mediasi kepada mediator.
Bipartit dan tripartit
Hubungan Industrial (Lembaga Bipartit dan Tripartit)
Juni 8th, 2012 | Author: ratni_itp
Apakah arti Pentingnya Hubungan Industrial (HI) bagi semua pihak (stake holder) yang berkepentingan terhadap perusahaan, dan bagaimana peranan masing-masing dalam menciptakan HI yang kondusif, terutama bagi komponen utama HI, yaitu perusahaan/pemberi kerja, pekerja/penerima kerja dan pemerintah?
Bagaimana pendapat Saudara terhadap kondisi HI, khususnya yang menyangkut ketenagakerjaan di Indonesia dewasa ini ?
Jawab:
Hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di suatu perusahaan yang meliputi pengusaha, pekerja, pemerintah dan masyarakat (customer, supplier, lingkungan). Hubungan industrial tersebut harus dicipatkan sedemikian rupa agar aman, harmonis, serasi dan sejalan, agar perusahaan dapat terus meningkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan kesejahteraan semua pihak yang terkait atau berkepentingan terhadap perusahaan tersebut.
Kepentingan Pengusaha terhadap Perusahaan
• Menjaga/mengamankan assetnya
• Mengembangkan modal/asset untuk member nilai tambah
• Meningkatkan penghasilkan pengusaha
• Meningkatkan kesejahteraan pekerja
• Aktualiasasi diri sebagai manajemen/entrepreneurs yang sukses
Kepentingan pekerja terhadap perusahaan
• Kesempatan kerja
• Sumber penghasilkan
• Sarana melatih diri, memperkaya pengalaman
• Meningkatkan keahlian/ketrampilan kerja
• Mengembangkan karir
• Aktualisasi keberhasilan mencapai puncak kari
Kepentingan masyarakat pemerintah terhadap Perusahaan
• Sumber kesempatan kerja/mengatasi pengangguran
• Sumber penghasilan banyak orang (supplier, distributor, retailer dan pemilik sumber daya)
• Sumber pertumbuhan ekonomi dan ketahanan nasional
• Sumber pajak
• Sumber devisi
• Sumber penyediaan barang dan jasa kebutuhan masyarakat.
Pendapat saya terkait dengan kondisi Hubungan Industrial adalah :
Saat ini sistem hubungan industrial di Indonesia, khususnya yang menyangkut ketenagakerjaan sedang dalam proses transisi, yaitu dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang lebih terdesentralisasi dimana perusahaan dan pekerja/buruh berunding bersama mengenai persyaratan dan kondisi pekerjaan di tingkat perusahaan. Meskipun demikian, banyak komponen dalam sistem hubungan industrial yang masih dipengaruhi oleh praktek pemerintah pusat di masa lalu yang paternalistik. Transisi ini sejalan dengan perubahan dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas dimana rakyat Indonesia sedang mengubah dirinya dari masyarakat yang dikawal ketat oleh regim yang otoriter menjadi masyarakat yang lebih demokratis.
Di satu pihak, tuntutan pekerja/buruh untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan, seperti kenaikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik, dapat dipandang sebagai tuntutan yang dapat difahami. Namun, dalam hal ini, kebijakan dan peraturan perundangan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan ekonomi pekerja/buruh juga ikut memberikan kontribusi terhadap timbulnya sejumlah aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi pekerja/buruh.
Jelaskanlah salah satu sarana Hubungan Industrial yang berbentuk “lembaga kerjasama (LK) Bipartit dan lembaga kerjasama (LK) Tripartit” yang meliputi :
a. Peranan LK Bipartit dan LK Tripartit tersebut bagi terciptanya HI yang kondusif?
b. Proses pembentukan LK Bipartit dan Tripartit, dasar hukum pembentukannya dan peranan masing-masing komponen HI dalam LK Bipartit dan Tripartit !
c. Berikan contoh model dari LK Bipartit dan LK Tripartit !
d. Bagaimana pelaksanaan dan perkembangan LK Bipartit dan LK Tripartit di Indonesia dewasa ini dari Informasi yang Saudara ketahui (sumber bisa dari data primer, media cetak atau internet), dan bagaimana pandangan Saudara terhadap kasus tersebut?
Jawab :
2a. Lembaga Kerjasama Bipartit (LKB) adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi yang dibentuk oleh pekerja dan pengusaha. LK Bipartit bertugas dan berfungsi sebagai Forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan‐permasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja. Para manager perusahaan diharapkan ikut mendorong berfungsinya Lembaga Kerjasama Bipartit, khususnya dalam hal mengatasi masalah bersama, misalnya penyelesaian perselisihan industrial.
Peranan Lembaga Kerjasama Bipartit adalah :
• Menampung dan menyalurkan aspirasi pekerja
• Menampung dan menyelesaikan keluh kesah pekerja
• Mempersiapkan bahan dan menjelaskan Peraturan Pemerintah (PP)
• Mempersiapkan bahan perundingan kerjasama bipartite (KB)
• Menjelaskan isi dan cara pelaksanaan PP atau PKB
• Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan PP atau PKB
• Menyelenggarakan latihan kepemimpinan serikat pekerja dan latihan tenaga supervise
• Menyelenggarakan program koperasi karyawan
• Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan program keluarga berencana
• Koordinasi program keselamatan dan kesehatan kerja
• Koordinasi program gugus kendali mutu (GKM)
• Meningkatkan partisipasi pekerja dan produktivitas perusahaan
• Membangun hubungan industrial yang harmonis dan dinamis
Lembaga Kerjasama Tripartit adalah Lembaga kerjasama Tripartit merupakan LKS yang anggota‐anggotanya terdiri dari unsure-unsur pemerintahan, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha untuk saling bertukar informasi, berdialog, berkomunikasi, berunding dan mengambil kesepakatan bersama secara consensus di bidang hubungan industrial serta mengenai kebijakan ekonomi social pada umumnya. Fungsi lembaga kerjasama Tripartit adalah sebagai FORUM Komunikasi, Konsultasi dengan tugas utama menyatukan konsepsi, sikap dan rencana dalam mengahadapi masalah‐masalah ketenagakerjaan, baik berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul karena faktor-faktor yang tidak diduga maupun untuk mengatasi hal‐hal yang akan datang.
Peranan Lembaga Kerjasama Tripartit :
• Tukar Menukar informasi
• Konsultasi tripartite untuk merumuskan saran bagi penetapan kebijakan oleh pejabat yang berwenang
• Konsultasi
• Negosiasi atau perundingan
• Lembaga Kerjasama Tripartit tertentu dapat menerbitkan keputusan bersama sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundangan-undangan, antara lain panitia penyelesaian perselisihan perburuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)