Bantuan Hukum dalam Perspektif Tanggungjawab Negara
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak yang melekat, inherent dalam diri manusia sebagai malkluk Tuhan. Secara alamiah ada karena keberadaannya sebagai manusia. Karakteristik HAM dalam dimensi global bersifat universal (tidak diskriminatif / berlaku sama untuk semua negara),indisible (tidak dapat dipilah-pilah/ harus simultan, interdependent (adanya saling ketergantunngan satu sama lain antar negara) dan HAM sebagai salah satu tolok ukur indek demokrasi. Secara global kehidupan berbangasa dan bernegara dikatakan demokratis, apabila memenuhi indek demokrasi berupa :
1. Adanya check and balance (dalam kektatanegaraan)
2. Adanya free and fair elextion
3. Adanya Good Covernand
4. Adanya Civil Supermacy (supermasi sipil)
5. Adanya kebebasan pers
6. Adanya keberadaan masyarakat madani
7. Adanya promosi dan perlindungan HAM (promotion and protection of human right’s)
8. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka
Promosi dan perlindungan HAM (promotion and protection of human right’s) merupakan keniscaan, tidak mungkin untuk dihindari. Reformasi konstitusi Indonesia mengalami perubahan, dengan issu demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM. Pengakuan terhadap HAM terkait dengan persamaan di muka hukum, telah diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) amandemen ke-2 UUD’45 yang memberikan jaminan terhadap pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama bagi setiap orang. Lebih operasional Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur beberapa hak-hak dasar yang dilindungi oleh Negara, antara lain hak untuk memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi berhak memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara objektif. Dalam UUD’45 terdapat 4 (empat ) prinsip yang menjadi landasan penyelenggaraan bantuan hukum, yaitu: (1) Indonesia adalah negara hukum Pasal 1 ayat (3); (2) Setiap orang berhak memperoleh peradilan yang fair dan impartial; (3) Keadilan harus dapat diakses semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all); (4) Perwujudan dari negara demokratis.
Dikaitkan dengan upaya promosi dan perlindungan HAM (promotion and protection of human right’s), bantuan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga negara atas jaminan perlindungan hukum dan jaminan persamaan di depan hukum, sebagai sarana pengakuan HAM. Mendapatkan bantuan hukum bagi setiap orang adalah perwujudan akses terhadap keadilan sebagai implementasi dari jaminan perlindungan hukum, dan jaminan persamaan di depan hukum.
Konstitusi menjamin hak setiap warga neraga mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, termasuk hak untuk mengakses keadilan melalui pemberian bantuan hukum. Meskipun demikian peradilan yang sangat birokratis, mahal, rumit (prosedural), sifatnya yang isoterik (hanya dapat dipahami kalangan orang hukum), menyebabkab tidak semua orang mendapatkan askses dan perlakuan yang sama pada saat berurusan dengan hukum, terutama bagi masyarakat miskin. Orang kaya dan mempunyai kekuasaan, dengan mudah mengakses dan mendapatkan “keadilan”, melalui tangan-tangan lawyer (Advokad) yang disewanya. Tidak demikian halnya kelompok masyarakat miskin, mereka tidak mampunyai kemampuan untuk memahami hukum dan tidak mampu untuk membayar Advokad, hal demikian menyebabkan tidak ada perlakuan yang sama dimuka hukum untuk mengakses keadilan. Problem dasar yang muncul adalah tidak adanya perluasaan akses yang sama bagi setiap warganegara untuk mendapatkan perlakuan yang sama dimuka hukum, meskipun doktrinnya keadilan harus dapat diakses oleh semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all).
Praktek selama ini menunjukkan, uluran tangan untuk membantu masyarakat miskin mengakses keadilan sangat-sangat tidak memadai, kalau tidak boleh dikatakan diabaikan. Aktivitas bantuan hukum yang dilakukan oleh penggiat bantuan hukum, dari lembaga bantuan hukum kampus, ormas, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, semua “mati suri”, karena terbentur masalah administrasi dan legalisasi praktek bantuan hukum . Keluarnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokad, sebagai undang-undang yang megatur profesi Advokad, justru “memberangus” aktivitas pemberian bantuan hukum untuk golongan masyarakat tidak mampu. Undang-undang terebut tidak memberikan perluasan akses yang seluas-luasnya bagi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro-bono) bagi kelompok masyarakat miskin, semangatnya adalah semangat monopoli. Profesi advokad, meskipun diakui sebagai provesi yang mulia(ovissium nobile), realitasnya sebenarnya dia adalah “corporate”, bukan lembaga nirlaba. Fakta semakin menguatkan hipotesa tersebut melihat praktek yang ada selama ini, pelayanan advokad jauh dari jangkauan kelompok masyarakat tidak mampu dan kelompok ”rentan”, komersialisasi dan sikap elitis profesi advokad semakin memberikan gap yang cuku lebar dengan harapan untuk terealisasinya prinsip ” justice for all/accessible to all.
ADVOKAD DAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO-BONO).
Advokad adalah sebuah profesi, yaitu profesi yang memberikan jasa hukum (legal services). Idealisme profesi advokad bermetaformose sesuai dengan perkembangan jaman. Pada awal keberadaannya, profesi advokad dinamai sebagai officium nobile atau jabatan yang mulia. Penamaan itu berkaitan dengan aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa, klien) yang dijalankannnya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak kliennya di forum yang telah ditentukan. (Luhut M.P. Pangaribuan, 1996:1). Berkaitan dengan hal tersebut Yap Thiam Hien pernah berkata bahwa, “Advokad adalah suatu provesi yang nobel dan penuh pengabdian kepada pihak yang lemah (buta hukum)”. Dengan berjalannya waktu pengelolaan profesi advokad dirasa semakin komersial, hal ini berkaitan dengan perubahan tingkat profesionalitas dan terjadinya tuntutan spesialisasi advokat. Profesi Advokad semakin menjadi lembaga tempat mencari keuntungan dan meninggalkan sifat-sifat nirlabanya serta bukan lagi sebagai sarana perjuangan membela hak-hak kaum miskin. Berkaitan dengan hal ini Satjipto Rahardjo, sebagaimana dikutip oleh Daniel S Lev, pernah menyidir Advokad, bahwa “banyak advokad kehilangan idealisme, merasa cukup puas dengan kesempatan, dan tidak banyak memikirkan keadaan negara atau keadaan masyarakat atau nasib profesinya sendiri. (Binziad Kadafi Cs, 2001: xii)
Ada tiga pertanyaan utama, berkaitan dengan pelaksanan Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuama-Cuma (PP Bantuan Hukum). Pertanyaan lugasnya adalah apakah Advokad ”mau”, ”mampu” dan ”efektif”. Sejujurnya dalam diri setiap Advokad secara umum mungkin timbul keengganan untuk melaksanakan pemberian bantuan hukum (pro-bono). Sifat dari profesi advokad adalah meberikan jasa hukum, artinya menjual kemampuanya dibidang hukum. Kalau toh dilakukan itu karena perintah undang-undang, bukan karena kepeduliannya atau penghargaannya terhadap hak ekosop masyarakat miskin. Jauh sebelum profesi advokad menjadi sangat komersial seperti sekarang ini, hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (Tahun 2001) membuktikan bahwa bahwa 62,6 % responden advokad yang diwawancari menyatakan bahwa penyedia bantuan hukum pro-bono seharusnya adalah pengadilan dengan anggaran penuh dari negara. (Binziad Kadafi Cs, 2001: 172-173). Fakta tersebut dapat diartikan bahwa sebenarnya advokad tidak mau melakukan bantuan hukum pro-bono, bantuan hukum probono harus dilakukan oleh negara dengan biaya oleh negara. Berkenaan dengan kondisi seperti ini Marc Galenter, sebagai mana dikutip Satjipto Rahardjo (Satjtipto Rahardjo, 2003: 51-52) menyindir bahwa ”profesi hukum lebih mementingkan fasilitas bisnis ketimbang berusaha untuk meringankan penderitaan manusia atau menolong manusia”.
Hal ini akan mempengaruhi kualitas advokasi, karena sejatinya ”konsentrasinya” berbeda. Orang Jawa bilang”ngribeti” atau ”mengganggu” tugas pokok advokad sebagai penyedia jasa hukum (legal services). Pengertian bantuan hukum lebih bermakna sebagai pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro-bono) bersifat nirlaba sedangkan jasa hukum merupakan aktivitas profesional memberikan (”menjual”) jasa bersifat profit. Ditetapkannya pemberian bantuan hukum Cuma-Cuma merupakan kewajiban bagi Advokad beserta sanksinya, hal ini tidak membuat para advokad akan menjalankan kewajibannya secara maksimal.
Tidak seimbangnya jumlah pencari keadilan dengan advokad, penyebaran yang tidak merata , tidak menyebarnya advokad diseluruh pelosok tanah air dan terpusat di kota-kota berakibat masyarakat miskin yang sebagaian besar berada dipelosok-pelosok desa tidak akan mampu terlayani oleh bantuan hukum advokad. Penyediaan bantuan hukum (pro-bono) dalam satu pintu yang dilaksanakan oleh Advokad/organisasi Advokad telah mempersempit akses bantuan hukum, sehingga sebagai kebijakan hukum tidak akan efektif, sebab sebelum berlakunya undang-undang advokad pelayanan bantuan hukum sangat bervariasi /banyak pilihan sehingga perluasan akses sangat tinggi.
Pada akhirnya keadaan semacam ini secara keseluruhan akan berpengaruh pada kualitas advokasi yang diberikan oleh Advokad, karena sejatinya ”konsentrasinya” berbeda. Hal ini akan berdampak pada tiga hal kepada user atau pengguna jasa bantuan hukum pro-bono yaitu, lemahnya kualitas pelayanan (asal-asalan), tidak berkembangnya perluasasan akses pemberian bantuan hukum dan terabaikinnya prinsip ”equality before the law”.
Berkaitan dengan realitas dualisme organisasi advokad, dimana masing-masing merasa sah dan sesuai dengan undang-undang advokat, sehingga juga sah untuk mengemban pelaksanaan bantuan hukum (pro-bono) apabila dikaitkan pemberian bantuan hukum sebagai kewajiban advokad dan tidak berkaitan alokasi dana dari negara secara kompetitif justru bisa berdampak positif. Gengsi organisasi bisa ditunjukkan dengan merebut hati publik dengan kompetisi yang sehat dalam pemberian advokasi secara sungguh-sungguh. Lain halnya kalau pelaksanaan bantuan hukum yang dilakukan advokad/organisasi adokad dibiayai oleh anggaran negara, akan terjadi kerumitan ketika akan menentukan mana organisasi yang sah yang dapat menerima dan menyalurkan dana negara. Mengingat dalan undang-undang advokad hanya dikenal satu organisasi Advokad. Idealnya oraganisasi advokad itu harus tunggal sebagaiamana diamanatkan oleh undang-undang. Hal ini sangat penting untuk menghadirkan oraganisasi advokad yang kuat sehingga punya posisi tawar (bargaining position) yang kuat khususnya dalam penegakan kode etik, pengembangan organisasi dan penyiapan sumberdaya (pendikan advokad). Menurut penulis efektifitas pemberian bantuan hukum Cuma-Cuma yang menjadi mandatori (kewajiban) advokad, bukan terletak pada masalah terjadinya dualisme organisasi advokad. Perluasan akses bantuan hukum (pro-bono) justru terkendala oleh minimnya peran negara dan tertutupnya akses pemberi bantuan diluar advokad/organisasi advokad yang sebelum keluarnya undang-undang advokad menangani secara penuh pelaksanaan bantuan hukum (pro-bono).
SEBUAH PERBANDINGAN
Sebagai perbandingan, di Australia bantuan hukum dibentuk dan dibiayai oleh negara. Sumber utama pemberian bantuan hukum dilaksanakan sebuah Komisi Bantuan Hukum yang dibentuk dan didanai oleh negara. Pemberian kuasa atau yang bertindak sebagai penasihat hukum, dilakukan oleh staf pengacara Komisi Bantuan Hukum dan Pengacara Privat atau pengacara yang membuka kantor sendiri. (Cassandra Goldie, 2006: 3-4). Pelaksanaan bantuan hukum di Australia dilaksanakan secara sinergis oleh pengacara Komisi Bantuan Hukum dan Pengacara Profesional (Advokad)/PengacaraCivil.
Di Taiwan kondisinya lebih bervariasi, bantuan hukum dapat dilakukan dalam wadah sebuah organisasi, yaitu organisasi-organisasi yang berada di pemerintahan daerah, asosiasi-asosiasi pengacara tingkat lokal, dan organisasi-organisasi non pemerintah. Pada tahun 2004 Taiwan memiliki undang-undang bantuan hukum (Legal Aid Act). Berdasar undang-undang tersebut dibentuk Yayasan Bantuan Hukum untuk memberikan pelayanan yang merata dan mewujudkan sumber daya yang terintegrasi serta mengatur pendanaan secara lebih efektif. Ada tiga alasan pokok keluarnya undang-undang tersebut, yaitu: 1). Biaya pengacara tidak dapat dijangkau oleh masyarakat secara umum, 2). Biaya putusan pengadilan yang sangat tinggi sehingga tidak terjangkau masyarakat yang tidak mampu dan 3). Adanya kewajiban untuk menyetorkan uang jaminan yang besarnya sepertiga dari nilai eksekusi. Untuk mengatasi hal tersebut negara hadir tidak hanya sebagai regulator, akan tetapi juga aktor dan fasilitator. (Jerry Cheng, 2006: 5-6)
Bantuan hukum di Afrika Selatan duatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1969 tentang Bantuan Hukum (Legal Aid Act, No. 22 of 1969) Munculnya undang-undang ini merupakan salah satu syarat lahirnya pemerintah baru yang demokratis. Semangat yang mendasarinya adalah upaya untuk memberikan akses bantuan hukum pada masyarakat, penghormatan dan menjunjung tinggi pemenuhan keadilan bagi semua. Undang-undang tersebut secara eksplisit memberikan tanggungjawab kepada negara untuk menyediakan penasihat hukum dan pelayanan konsultasi bagi masyarakat, terutama masayrakat miskin. Berdasarkan perintah undang-undang dibentuk Dewan Bantuan Hukum (Legal Aid Board) yang bersifat mandiri meskipun sepenuhnya dibiayai oleh negara. Selain itu bantuan hukum juga dilaksanakan oleh organisasi non pemerintah (ornop), Klinik hukum Universitas dan kantor kelompok penasihat hukum. Jadi pelaksanaan bantuan hukum dilakukan secara sinergis oleh lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah yaitu Dewan Bantuan Hukum, ornop /klinik hukum universitas dan kelompok penasihat hukum (advokat profesional). Dalam satu tahun negara menyediakan anggaran untuk pelaksanaan bantuan hukum berkisar 60 (enam puluh) sampai 70 (tujuh puluh) juta dolar Amerika Serikat. (Judge D Mlambo, 2006: 4-5)
Kalu kita lihat dari praktek pelaksanaan bantuan hukum dari beberapa negara ada dua hal penting yaitu, peran negara dan masalah perluasan akses untuk mendapatkan bantuan hukum. Dalam banyak negara, bantuan hukum merupakan urusan dan tanggungjawab negara, meskipun tidak menutup peran masyarakat terutama dari ornop maupun Advokad Profesional. Apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, bantuan hukum hanya diserahkan secara monopoli kepada Advokad dan oraganisasinya yang nota bene hanya merupakan kerja “sambilan”. Banyak pemberi bantuan hukum (pro-bono) saat ini benar-benar “tiarap” atau “mati suri”, mereka yang selama ini terbukti punya kepedulian dan pembelaan hukum terhadap masyarakat miskin terpaksa harus tersingkir dan tidak punya akses sama sekali. Negara telah melapaskan tanggung jawab konstitusionalnya untuk mlakukan perluasan akses hak konstitusional masyarakat miskin untuk mendapat bantuan hukum.
PERAN NEGARA MENUJU PERLUASAN AKSES BANTUAN HUKUM
Relaitas di atas, perlu jalan keluar dengan kebijakan negara yang komprehensif dan dibutuhkanpolitical will yang kuat. Saat ini negara memang berat dari sisi anggaran, akan tetapi bukan berarti perluasan akses pemberian bantaun hukum harus diabaikan, karena hak tersebut merupakan hak asasi manusia sejajar dengan hak untuk mendapat pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak, ”ia” juga merupakan hak kontitusional. Pembentukan undang-undang bantuan hukum, yang mengatur kelembagaan, mekanisme dan pendananan, segera direalisir untuk memberikan alternatif dan perluasan akses pemberian bantuan hukum yang tidak semata-mata tergantung dari kepedulian Advokad.
Seabagi hal yang bersifat sementara dan khusus, dalam arti sebelum ada undang-undang bantuan hukum yang memberikan perluasan akses pemberian bantuan hukum, Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuama-Cuma (PP Bantuan Hukum), sebagai amanat Ps 22 UU Advokad cukup memadai, untuk mengatur secara khusus tanggungjawab dan kewajiban Advokad untuk memberikan bantuan hukum (pro-bono), akan tetapi sebagai upaya maksimal untuk memberikan perluasan akses pemberian bantuan hukum, hal tersebut jauh dari harapan.
Dari sudut penghargaan dan promosi hak asasi manusia sebagaimana tersebut UUD’45, hak untuk mendapatkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi kelompok masyarakat tidak mampu adalah merupakan hak konstitusional. Dari sudut perbandingan, pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu terbukti juga merupakan tanggungjawab negara. Sehingga menyerahkan kewenangan pemberian bantuan hukum semata-mata kepada Advokad, negara telah melepaskan tanggungjawab konstitusionalnya untuk memperluas access to legal counsel dan acces to justice.
Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis berpendapat, bahwa peran negara harus diperluas. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator, lebih dari itu harus bertindak sebagai aktor dan fasilitator. Perlu dibentuk undang-undang bantuan hukum yang memperluas akses pemberian bantuan hukum, sehingga tidak menjadi monopoli advokad dan organisasinya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Luhut M.P Pangaribuan selaku Advokad senior menyatakan bahwa ”memang tidak cukup mengatur masalah bantuan hukum dalam rancangan undang-undang advokad (pen. menjadi Ps. 22 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Bantuan Hukum). Pendapat tersebut juga didukung Mas Achmad Santosa, dengan mengatakan bahwa ”pembentukan undang-undang khusus mengenai bantuan hukum dimungkinkan sepanjang materi pengaturannya bersifat memfasilitasi dan tidak membatasi. (Binziad Kadafi Cs, 2001: 168).
Realitas selama ini tulang punggung atau bisa dikatakan sebagai pelaku utama bantuan hukum (pro-bono) adalah lembaga – lembaga bantuan hukum kampus, organisasi-organisasi masyarakat, partai politik dan organisasi non pemerintah lainnya. Sehingga kalau kita berbicara perluasan akses prinsip “equality before the law”, ”access to legal counsil” dan ”justice for all”, Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuama-Cuma (PP Bantuan Hukum) jauh dari memadai karena disamping mempersempit ruang ringkup bantuan hukum (pro-bono), pelaksanaannya tidak akan optimal karena merupakan kerja ”sambilan” bukan utama, tergantung tingkat kepedulian atau rasa kemanusiaan (cahrity) Advokad, jumlah advokad sangat tidak memadai dibanding jumlah penduduk (miskin) Indonesia dan kebanyakan Advokad berdomisili dipusat kota besar.
Untuk memperluas akses bantuan hukum, model yang penulis tawarkan adalah melalui model sistem tiga jalur (triple tract system), yaitu negara (pemerintah) membentuk lembaga khusus sebagai pembela umum (public defender) yang sepenuhnya didanai oleh negara untuk melaksanakan bantuan hukum, disamping juga bantuan hukum yang dilakukan penggiat bantuan hukum (pro-bono) dan oleh Advokad/Organisasi Advokad. Dalam hal ini anggaran bantuan hukum tidak hanya untuk membiayai lembaga khusus yang dibentuk negara, akan tetapi juga dapat diakses (membiayai) ornop-ornop penggiat bantuan hukum (pro-bono). Untuk menghindarkan ”perebutan” segment pasar Advokad, dalam undang-undang bantuan hukum harus harus diatur secara jelas kriteria masyarakat yang bisa ditangani oleh lembaga khusus dan ornop penggiat bantuan hukum (pro-bono). Sehingga tidak ada kekawatiran dari Advokad bahwa segmen pasarnya akan direbut oleh lembaga khusus bantuan hukum dan penggiat bantuan hukum (pro-bono).
Bekaitan dengan hal ini penulis memberikan apresiasi yang tinggi terhadap prakarsa Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) didukung oleh Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF) dan Australi’s Aid (Ausaid) yang telah berhasil menginisiasi draf bantuan hukum (draf RUU BH) yang cukup lengkap dan mendetail. Syukur Alhamdulillah, dari berita terkhir yag saya terima draf RUU Bantuan Hukum tersebut sudah masuk dalam Prolegnas tahun 2010 sehingga cita-cita kita bersama untuk memperluas akses pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat tidak mampu dapat segera terlaksana.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UNDIP, Advokat, Mantan Ketua Badan Konsultasi Hukum UNDIP, Anggota TIM Perumus Penyusunan Draf Bantuan Hukum (YLBHI / LBH Jakarta Kerjasama dengan AUSAID dan IALDF). Makalah di Sampaikan dalam Kegiatan Seminar Bantuan Hukum dan Akses terhadap Keadilan Bagi Masyarakat Marginal, Semarang 09 Pebruari 2010.
Daftar Rujukan
1. Adanya check and balance (dalam kektatanegaraan)
2. Adanya free and fair elextion
3. Adanya Good Covernand
4. Adanya Civil Supermacy (supermasi sipil)
5. Adanya kebebasan pers
6. Adanya keberadaan masyarakat madani
7. Adanya promosi dan perlindungan HAM (promotion and protection of human right’s)
8. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka
Promosi dan perlindungan HAM (promotion and protection of human right’s) merupakan keniscaan, tidak mungkin untuk dihindari. Reformasi konstitusi Indonesia mengalami perubahan, dengan issu demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM. Pengakuan terhadap HAM terkait dengan persamaan di muka hukum, telah diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) amandemen ke-2 UUD’45 yang memberikan jaminan terhadap pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama bagi setiap orang. Lebih operasional Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur beberapa hak-hak dasar yang dilindungi oleh Negara, antara lain hak untuk memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi berhak memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara objektif. Dalam UUD’45 terdapat 4 (empat ) prinsip yang menjadi landasan penyelenggaraan bantuan hukum, yaitu: (1) Indonesia adalah negara hukum Pasal 1 ayat (3); (2) Setiap orang berhak memperoleh peradilan yang fair dan impartial; (3) Keadilan harus dapat diakses semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all); (4) Perwujudan dari negara demokratis.
Dikaitkan dengan upaya promosi dan perlindungan HAM (promotion and protection of human right’s), bantuan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga negara atas jaminan perlindungan hukum dan jaminan persamaan di depan hukum, sebagai sarana pengakuan HAM. Mendapatkan bantuan hukum bagi setiap orang adalah perwujudan akses terhadap keadilan sebagai implementasi dari jaminan perlindungan hukum, dan jaminan persamaan di depan hukum.
Konstitusi menjamin hak setiap warga neraga mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, termasuk hak untuk mengakses keadilan melalui pemberian bantuan hukum. Meskipun demikian peradilan yang sangat birokratis, mahal, rumit (prosedural), sifatnya yang isoterik (hanya dapat dipahami kalangan orang hukum), menyebabkab tidak semua orang mendapatkan askses dan perlakuan yang sama pada saat berurusan dengan hukum, terutama bagi masyarakat miskin. Orang kaya dan mempunyai kekuasaan, dengan mudah mengakses dan mendapatkan “keadilan”, melalui tangan-tangan lawyer (Advokad) yang disewanya. Tidak demikian halnya kelompok masyarakat miskin, mereka tidak mampunyai kemampuan untuk memahami hukum dan tidak mampu untuk membayar Advokad, hal demikian menyebabkan tidak ada perlakuan yang sama dimuka hukum untuk mengakses keadilan. Problem dasar yang muncul adalah tidak adanya perluasaan akses yang sama bagi setiap warganegara untuk mendapatkan perlakuan yang sama dimuka hukum, meskipun doktrinnya keadilan harus dapat diakses oleh semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all).
Praktek selama ini menunjukkan, uluran tangan untuk membantu masyarakat miskin mengakses keadilan sangat-sangat tidak memadai, kalau tidak boleh dikatakan diabaikan. Aktivitas bantuan hukum yang dilakukan oleh penggiat bantuan hukum, dari lembaga bantuan hukum kampus, ormas, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, semua “mati suri”, karena terbentur masalah administrasi dan legalisasi praktek bantuan hukum . Keluarnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokad, sebagai undang-undang yang megatur profesi Advokad, justru “memberangus” aktivitas pemberian bantuan hukum untuk golongan masyarakat tidak mampu. Undang-undang terebut tidak memberikan perluasan akses yang seluas-luasnya bagi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro-bono) bagi kelompok masyarakat miskin, semangatnya adalah semangat monopoli. Profesi advokad, meskipun diakui sebagai provesi yang mulia(ovissium nobile), realitasnya sebenarnya dia adalah “corporate”, bukan lembaga nirlaba. Fakta semakin menguatkan hipotesa tersebut melihat praktek yang ada selama ini, pelayanan advokad jauh dari jangkauan kelompok masyarakat tidak mampu dan kelompok ”rentan”, komersialisasi dan sikap elitis profesi advokad semakin memberikan gap yang cuku lebar dengan harapan untuk terealisasinya prinsip ” justice for all/accessible to all.
ADVOKAD DAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO-BONO).
Advokad adalah sebuah profesi, yaitu profesi yang memberikan jasa hukum (legal services). Idealisme profesi advokad bermetaformose sesuai dengan perkembangan jaman. Pada awal keberadaannya, profesi advokad dinamai sebagai officium nobile atau jabatan yang mulia. Penamaan itu berkaitan dengan aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa, klien) yang dijalankannnya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak kliennya di forum yang telah ditentukan. (Luhut M.P. Pangaribuan, 1996:1). Berkaitan dengan hal tersebut Yap Thiam Hien pernah berkata bahwa, “Advokad adalah suatu provesi yang nobel dan penuh pengabdian kepada pihak yang lemah (buta hukum)”. Dengan berjalannya waktu pengelolaan profesi advokad dirasa semakin komersial, hal ini berkaitan dengan perubahan tingkat profesionalitas dan terjadinya tuntutan spesialisasi advokat. Profesi Advokad semakin menjadi lembaga tempat mencari keuntungan dan meninggalkan sifat-sifat nirlabanya serta bukan lagi sebagai sarana perjuangan membela hak-hak kaum miskin. Berkaitan dengan hal ini Satjipto Rahardjo, sebagaimana dikutip oleh Daniel S Lev, pernah menyidir Advokad, bahwa “banyak advokad kehilangan idealisme, merasa cukup puas dengan kesempatan, dan tidak banyak memikirkan keadaan negara atau keadaan masyarakat atau nasib profesinya sendiri. (Binziad Kadafi Cs, 2001: xii)
Ada tiga pertanyaan utama, berkaitan dengan pelaksanan Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuama-Cuma (PP Bantuan Hukum). Pertanyaan lugasnya adalah apakah Advokad ”mau”, ”mampu” dan ”efektif”. Sejujurnya dalam diri setiap Advokad secara umum mungkin timbul keengganan untuk melaksanakan pemberian bantuan hukum (pro-bono). Sifat dari profesi advokad adalah meberikan jasa hukum, artinya menjual kemampuanya dibidang hukum. Kalau toh dilakukan itu karena perintah undang-undang, bukan karena kepeduliannya atau penghargaannya terhadap hak ekosop masyarakat miskin. Jauh sebelum profesi advokad menjadi sangat komersial seperti sekarang ini, hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (Tahun 2001) membuktikan bahwa bahwa 62,6 % responden advokad yang diwawancari menyatakan bahwa penyedia bantuan hukum pro-bono seharusnya adalah pengadilan dengan anggaran penuh dari negara. (Binziad Kadafi Cs, 2001: 172-173). Fakta tersebut dapat diartikan bahwa sebenarnya advokad tidak mau melakukan bantuan hukum pro-bono, bantuan hukum probono harus dilakukan oleh negara dengan biaya oleh negara. Berkenaan dengan kondisi seperti ini Marc Galenter, sebagai mana dikutip Satjipto Rahardjo (Satjtipto Rahardjo, 2003: 51-52) menyindir bahwa ”profesi hukum lebih mementingkan fasilitas bisnis ketimbang berusaha untuk meringankan penderitaan manusia atau menolong manusia”.
Hal ini akan mempengaruhi kualitas advokasi, karena sejatinya ”konsentrasinya” berbeda. Orang Jawa bilang”ngribeti” atau ”mengganggu” tugas pokok advokad sebagai penyedia jasa hukum (legal services). Pengertian bantuan hukum lebih bermakna sebagai pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro-bono) bersifat nirlaba sedangkan jasa hukum merupakan aktivitas profesional memberikan (”menjual”) jasa bersifat profit. Ditetapkannya pemberian bantuan hukum Cuma-Cuma merupakan kewajiban bagi Advokad beserta sanksinya, hal ini tidak membuat para advokad akan menjalankan kewajibannya secara maksimal.
Tidak seimbangnya jumlah pencari keadilan dengan advokad, penyebaran yang tidak merata , tidak menyebarnya advokad diseluruh pelosok tanah air dan terpusat di kota-kota berakibat masyarakat miskin yang sebagaian besar berada dipelosok-pelosok desa tidak akan mampu terlayani oleh bantuan hukum advokad. Penyediaan bantuan hukum (pro-bono) dalam satu pintu yang dilaksanakan oleh Advokad/organisasi Advokad telah mempersempit akses bantuan hukum, sehingga sebagai kebijakan hukum tidak akan efektif, sebab sebelum berlakunya undang-undang advokad pelayanan bantuan hukum sangat bervariasi /banyak pilihan sehingga perluasan akses sangat tinggi.
Pada akhirnya keadaan semacam ini secara keseluruhan akan berpengaruh pada kualitas advokasi yang diberikan oleh Advokad, karena sejatinya ”konsentrasinya” berbeda. Hal ini akan berdampak pada tiga hal kepada user atau pengguna jasa bantuan hukum pro-bono yaitu, lemahnya kualitas pelayanan (asal-asalan), tidak berkembangnya perluasasan akses pemberian bantuan hukum dan terabaikinnya prinsip ”equality before the law”.
Berkaitan dengan realitas dualisme organisasi advokad, dimana masing-masing merasa sah dan sesuai dengan undang-undang advokat, sehingga juga sah untuk mengemban pelaksanaan bantuan hukum (pro-bono) apabila dikaitkan pemberian bantuan hukum sebagai kewajiban advokad dan tidak berkaitan alokasi dana dari negara secara kompetitif justru bisa berdampak positif. Gengsi organisasi bisa ditunjukkan dengan merebut hati publik dengan kompetisi yang sehat dalam pemberian advokasi secara sungguh-sungguh. Lain halnya kalau pelaksanaan bantuan hukum yang dilakukan advokad/organisasi adokad dibiayai oleh anggaran negara, akan terjadi kerumitan ketika akan menentukan mana organisasi yang sah yang dapat menerima dan menyalurkan dana negara. Mengingat dalan undang-undang advokad hanya dikenal satu organisasi Advokad. Idealnya oraganisasi advokad itu harus tunggal sebagaiamana diamanatkan oleh undang-undang. Hal ini sangat penting untuk menghadirkan oraganisasi advokad yang kuat sehingga punya posisi tawar (bargaining position) yang kuat khususnya dalam penegakan kode etik, pengembangan organisasi dan penyiapan sumberdaya (pendikan advokad). Menurut penulis efektifitas pemberian bantuan hukum Cuma-Cuma yang menjadi mandatori (kewajiban) advokad, bukan terletak pada masalah terjadinya dualisme organisasi advokad. Perluasan akses bantuan hukum (pro-bono) justru terkendala oleh minimnya peran negara dan tertutupnya akses pemberi bantuan diluar advokad/organisasi advokad yang sebelum keluarnya undang-undang advokad menangani secara penuh pelaksanaan bantuan hukum (pro-bono).
SEBUAH PERBANDINGAN
Sebagai perbandingan, di Australia bantuan hukum dibentuk dan dibiayai oleh negara. Sumber utama pemberian bantuan hukum dilaksanakan sebuah Komisi Bantuan Hukum yang dibentuk dan didanai oleh negara. Pemberian kuasa atau yang bertindak sebagai penasihat hukum, dilakukan oleh staf pengacara Komisi Bantuan Hukum dan Pengacara Privat atau pengacara yang membuka kantor sendiri. (Cassandra Goldie, 2006: 3-4). Pelaksanaan bantuan hukum di Australia dilaksanakan secara sinergis oleh pengacara Komisi Bantuan Hukum dan Pengacara Profesional (Advokad)/PengacaraCivil.
Di Taiwan kondisinya lebih bervariasi, bantuan hukum dapat dilakukan dalam wadah sebuah organisasi, yaitu organisasi-organisasi yang berada di pemerintahan daerah, asosiasi-asosiasi pengacara tingkat lokal, dan organisasi-organisasi non pemerintah. Pada tahun 2004 Taiwan memiliki undang-undang bantuan hukum (Legal Aid Act). Berdasar undang-undang tersebut dibentuk Yayasan Bantuan Hukum untuk memberikan pelayanan yang merata dan mewujudkan sumber daya yang terintegrasi serta mengatur pendanaan secara lebih efektif. Ada tiga alasan pokok keluarnya undang-undang tersebut, yaitu: 1). Biaya pengacara tidak dapat dijangkau oleh masyarakat secara umum, 2). Biaya putusan pengadilan yang sangat tinggi sehingga tidak terjangkau masyarakat yang tidak mampu dan 3). Adanya kewajiban untuk menyetorkan uang jaminan yang besarnya sepertiga dari nilai eksekusi. Untuk mengatasi hal tersebut negara hadir tidak hanya sebagai regulator, akan tetapi juga aktor dan fasilitator. (Jerry Cheng, 2006: 5-6)
Bantuan hukum di Afrika Selatan duatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1969 tentang Bantuan Hukum (Legal Aid Act, No. 22 of 1969) Munculnya undang-undang ini merupakan salah satu syarat lahirnya pemerintah baru yang demokratis. Semangat yang mendasarinya adalah upaya untuk memberikan akses bantuan hukum pada masyarakat, penghormatan dan menjunjung tinggi pemenuhan keadilan bagi semua. Undang-undang tersebut secara eksplisit memberikan tanggungjawab kepada negara untuk menyediakan penasihat hukum dan pelayanan konsultasi bagi masyarakat, terutama masayrakat miskin. Berdasarkan perintah undang-undang dibentuk Dewan Bantuan Hukum (Legal Aid Board) yang bersifat mandiri meskipun sepenuhnya dibiayai oleh negara. Selain itu bantuan hukum juga dilaksanakan oleh organisasi non pemerintah (ornop), Klinik hukum Universitas dan kantor kelompok penasihat hukum. Jadi pelaksanaan bantuan hukum dilakukan secara sinergis oleh lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah yaitu Dewan Bantuan Hukum, ornop /klinik hukum universitas dan kelompok penasihat hukum (advokat profesional). Dalam satu tahun negara menyediakan anggaran untuk pelaksanaan bantuan hukum berkisar 60 (enam puluh) sampai 70 (tujuh puluh) juta dolar Amerika Serikat. (Judge D Mlambo, 2006: 4-5)
Kalu kita lihat dari praktek pelaksanaan bantuan hukum dari beberapa negara ada dua hal penting yaitu, peran negara dan masalah perluasan akses untuk mendapatkan bantuan hukum. Dalam banyak negara, bantuan hukum merupakan urusan dan tanggungjawab negara, meskipun tidak menutup peran masyarakat terutama dari ornop maupun Advokad Profesional. Apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, bantuan hukum hanya diserahkan secara monopoli kepada Advokad dan oraganisasinya yang nota bene hanya merupakan kerja “sambilan”. Banyak pemberi bantuan hukum (pro-bono) saat ini benar-benar “tiarap” atau “mati suri”, mereka yang selama ini terbukti punya kepedulian dan pembelaan hukum terhadap masyarakat miskin terpaksa harus tersingkir dan tidak punya akses sama sekali. Negara telah melapaskan tanggung jawab konstitusionalnya untuk mlakukan perluasan akses hak konstitusional masyarakat miskin untuk mendapat bantuan hukum.
PERAN NEGARA MENUJU PERLUASAN AKSES BANTUAN HUKUM
Relaitas di atas, perlu jalan keluar dengan kebijakan negara yang komprehensif dan dibutuhkanpolitical will yang kuat. Saat ini negara memang berat dari sisi anggaran, akan tetapi bukan berarti perluasan akses pemberian bantaun hukum harus diabaikan, karena hak tersebut merupakan hak asasi manusia sejajar dengan hak untuk mendapat pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak, ”ia” juga merupakan hak kontitusional. Pembentukan undang-undang bantuan hukum, yang mengatur kelembagaan, mekanisme dan pendananan, segera direalisir untuk memberikan alternatif dan perluasan akses pemberian bantuan hukum yang tidak semata-mata tergantung dari kepedulian Advokad.
Seabagi hal yang bersifat sementara dan khusus, dalam arti sebelum ada undang-undang bantuan hukum yang memberikan perluasan akses pemberian bantuan hukum, Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuama-Cuma (PP Bantuan Hukum), sebagai amanat Ps 22 UU Advokad cukup memadai, untuk mengatur secara khusus tanggungjawab dan kewajiban Advokad untuk memberikan bantuan hukum (pro-bono), akan tetapi sebagai upaya maksimal untuk memberikan perluasan akses pemberian bantuan hukum, hal tersebut jauh dari harapan.
Dari sudut penghargaan dan promosi hak asasi manusia sebagaimana tersebut UUD’45, hak untuk mendapatkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi kelompok masyarakat tidak mampu adalah merupakan hak konstitusional. Dari sudut perbandingan, pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu terbukti juga merupakan tanggungjawab negara. Sehingga menyerahkan kewenangan pemberian bantuan hukum semata-mata kepada Advokad, negara telah melepaskan tanggungjawab konstitusionalnya untuk memperluas access to legal counsel dan acces to justice.
Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis berpendapat, bahwa peran negara harus diperluas. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator, lebih dari itu harus bertindak sebagai aktor dan fasilitator. Perlu dibentuk undang-undang bantuan hukum yang memperluas akses pemberian bantuan hukum, sehingga tidak menjadi monopoli advokad dan organisasinya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Luhut M.P Pangaribuan selaku Advokad senior menyatakan bahwa ”memang tidak cukup mengatur masalah bantuan hukum dalam rancangan undang-undang advokad (pen. menjadi Ps. 22 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Bantuan Hukum). Pendapat tersebut juga didukung Mas Achmad Santosa, dengan mengatakan bahwa ”pembentukan undang-undang khusus mengenai bantuan hukum dimungkinkan sepanjang materi pengaturannya bersifat memfasilitasi dan tidak membatasi. (Binziad Kadafi Cs, 2001: 168).
Realitas selama ini tulang punggung atau bisa dikatakan sebagai pelaku utama bantuan hukum (pro-bono) adalah lembaga – lembaga bantuan hukum kampus, organisasi-organisasi masyarakat, partai politik dan organisasi non pemerintah lainnya. Sehingga kalau kita berbicara perluasan akses prinsip “equality before the law”, ”access to legal counsil” dan ”justice for all”, Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuama-Cuma (PP Bantuan Hukum) jauh dari memadai karena disamping mempersempit ruang ringkup bantuan hukum (pro-bono), pelaksanaannya tidak akan optimal karena merupakan kerja ”sambilan” bukan utama, tergantung tingkat kepedulian atau rasa kemanusiaan (cahrity) Advokad, jumlah advokad sangat tidak memadai dibanding jumlah penduduk (miskin) Indonesia dan kebanyakan Advokad berdomisili dipusat kota besar.
Untuk memperluas akses bantuan hukum, model yang penulis tawarkan adalah melalui model sistem tiga jalur (triple tract system), yaitu negara (pemerintah) membentuk lembaga khusus sebagai pembela umum (public defender) yang sepenuhnya didanai oleh negara untuk melaksanakan bantuan hukum, disamping juga bantuan hukum yang dilakukan penggiat bantuan hukum (pro-bono) dan oleh Advokad/Organisasi Advokad. Dalam hal ini anggaran bantuan hukum tidak hanya untuk membiayai lembaga khusus yang dibentuk negara, akan tetapi juga dapat diakses (membiayai) ornop-ornop penggiat bantuan hukum (pro-bono). Untuk menghindarkan ”perebutan” segment pasar Advokad, dalam undang-undang bantuan hukum harus harus diatur secara jelas kriteria masyarakat yang bisa ditangani oleh lembaga khusus dan ornop penggiat bantuan hukum (pro-bono). Sehingga tidak ada kekawatiran dari Advokad bahwa segmen pasarnya akan direbut oleh lembaga khusus bantuan hukum dan penggiat bantuan hukum (pro-bono).
Bekaitan dengan hal ini penulis memberikan apresiasi yang tinggi terhadap prakarsa Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) didukung oleh Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF) dan Australi’s Aid (Ausaid) yang telah berhasil menginisiasi draf bantuan hukum (draf RUU BH) yang cukup lengkap dan mendetail. Syukur Alhamdulillah, dari berita terkhir yag saya terima draf RUU Bantuan Hukum tersebut sudah masuk dalam Prolegnas tahun 2010 sehingga cita-cita kita bersama untuk memperluas akses pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat tidak mampu dapat segera terlaksana.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UNDIP, Advokat, Mantan Ketua Badan Konsultasi Hukum UNDIP, Anggota TIM Perumus Penyusunan Draf Bantuan Hukum (YLBHI / LBH Jakarta Kerjasama dengan AUSAID dan IALDF). Makalah di Sampaikan dalam Kegiatan Seminar Bantuan Hukum dan Akses terhadap Keadilan Bagi Masyarakat Marginal, Semarang 09 Pebruari 2010.
Daftar Rujukan
Binziad Kadafi Cs, Advokad Indonesia Mencari Legitimasi Suatu Studi Tentang Tanggungjawab Profesi Hukum di Indonesia, Kata Pengantar Daniel S. Lev, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta, 2001, hal. xii
Cassandra Goldie, Legal Aid and Acces to Justice in Australia; The Role of Legal Aid to Promote Acces to Justice for Marginalized in The Contex of Human Rights, Makalah Seminar Internasional Tentang “Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinan dalam Kontek Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2006, hal 3-4)
Jerry Chang, Legal Aid Movement in Taiwan and Its Present Status, Makalah Seminar Internasional Tentang “Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinan dalam Kontek Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2006, hal 5-6)
Judge D Mlambo, Justice for All; South African National Report, Makalah Seminar Internasional Tentang “Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinan dalam Kontek Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2006, hal 4-5)
Luhut M.P. Pangaribuan, Advokad dan Contempt of Court Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1996, hal. 1
Sajtipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Hukum Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2003, hal. 50-51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar