Minggu, 09 Oktober 2016

Wewenang turunin gubernur

Menurunkan Gubernur DKI Harus Seizin Mahkamah Agung Wewenang DPRD untuk menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta di tengah jalan tidak mutlak lagi. Usul DPRD untuk memberhentikan Gubernur harus diuji terlebih dahulu oleh Mahkamah Agung. Mys/Nay Itu kalau draf revisi UU No. 34/1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta disetujui oleh DPR. Naskah revisi itu kabarnya sudah sampai ke Senayan dan tentu saja akan dibahas anggota Dewan. Berdasarkan pasal 16D ayat (1), Gubernur dan Wakil Gubernur dapat diberhentikan di tengah jalan oleh DPRD. Faktor penyebabnya bisa karena kasus korupsi, penghinaan terhadap negara, penyuapan dan tindak pidana berat, perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat. Hanya, DPRD tidak dapat menjatuhkan Gubernur begitu saja. Sebab, ayat (3) pasal yang sama menegaskan bahwa usul pemberhentian Gubernur Atau Wakil Gubernur baru dapat diputuskan oleh DPRD jika sudah ada pendapat dari Mahkamah Agung (MA). Dalam kaitan ini, MA bertugas memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPRD tentang pelanggaran yang dilakukan Gubernur atau wakilnya. Prosedur pengajuan permintaan DPRD kepada MA pun tidak mudah. Karena harus mendapat persetujuan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam rapat paripurna. Rapat paripurna itu pun wajib dihadiri 2/3 dari total jumlah anggota DPRD. Paling lambat 90 hari setelah berkas permintaan DPRD diterima, MA sudah harus memutus apakah Gubernur atau wakilnya bersalah melakukan tindak pidana terdahulu. Setelah putusan MA turun, barulah DPRD bisa melaksanakan sidang paripurna. Saat diminta tanggapannya oleh hukumonline beberapa waktu lalu, Ketua MA Bagir Manan mengaku belum tahu adanya ketentuan tersebut. Ia belum tahu sejauh mana keterlibatan MA dalam memutus suatu sengketa pemilihan gubernur. "Nanti kita lihat, dalam arti apakah (keterlibatan) itu merupakan pengujian," ujarnya. Dalam UU No. 34/1999, keterlibatan MA itu memang tidak diatur sama sekali. Masalah pemilihan gubernur diatur dalam pasal 16. Disebutkan bahwa semua ketentuan tentang pemilihan kepala daerah berlaku juga terhadap gubernur. Di sini yang berperan justeru campur tangan presiden. Sebab pasal 16 ayat (2) menyatakan bahwa calon yang sudah ditetapkan DPRD dikonsultasikan dengan presiden. Ketua Forum Masyarakat Jakarta Azas Tigor Nainggolan menilai aneh ketentuan dalam revisi UU 34/1999 itu. Pertama, itu berarti mencampuradukkan keputusan politik dengan lembaga hukum. DPRD berwenang sepenuhnya menilai pertanggungjawaban dan kinerja Gubernur, bahkan 'menjatuhkannya' di tengah jalan. Kedua, kalaupun mau diselesaikan melalui jalur hukum, mestinya harus berjenjang, mulai lewat pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara. Menyerahkan langsung ke MA hanya memberi nuansa diskriminasi hukum. Lagipula, faktanya, MA sudah mempunyai tugas yang cukup banyak. Kalau dibebani lagi, maka pekerjaan MA semakin menumpuk. Menurut Azas Tigor, mestinya revisi UU No. 34/1999 bukan hanya terfokus pada mekanisme pergantian penguasa. Yang lebih penting diatur adalah pandangan membawa Jakarta ke depan. Selain itu juga memberi ruang otonomi kepada setiap kotamadya untuk berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar